Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus mendorong operator telekomunikasi melakukan konsolidasi, hal ini dikarenakan dalam waktu yang tidak lama lagi Kementerian Komunikasi dan Informatika bakal merilis aturan mengenai merger dan akuisisi di industri telekomunikasi.
Selain itu, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) juga menyiapkan opsi skema kepemilikan frekuensi.
Saat ini draft aturan mengenai kepemilikan pasca konsolidasi industri telekomunikasi mengerucut pada tiga skema, pertama, frekuensi seluruhnya dikembalikan ke operator.
Kedua, sebagian dari frekuensi yang dimiliki operator seluler setelah konsolidasi ditarik kemudian dilelang dan ketiga yakni sebagian ditarik kemudian ditahan dulu sembari menunggu evaluasi Kominfo.
I Ketut Prihadi Kresna Murti, Komisioner BRTI menjelaskan bahwa pihaknya masih mengkaji lebih dalam mengenai penggunaan pita frekuensi radio bagi penyelenggara jaringan telekomunikasi. Apakah nantinya akan melakukan penggabungan, peleburan atau pengambilalihan alias konsolidasi.
“Kami masih mengkaji lebih mendalam, terutama terkait dengan landasan hukum untuk menerapkan opsi 1, opsi 2 atau opsi 3,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (6/5).
Yang jelas, dirinya menyatakan akan mendukung upaya operator telekomunikasi untuk melakukan merger dan akuisisi baik melalui penggabungan, peleburan maupun konsolidasi.
Hanya saja, berkaitan dengan penggunaan sumber daya terbatas seperti pita frekuensi radio perlu adanya kajian matang. “Pasti perlu kami pertimbangkan dan cermati dengan baik manfaat yang terbesar yang bisa diperoleh,” lanjutnya.
Fajar Aji Suryawan, Group Head Regulatory & Government Relation Indosat Ooredoo menjelaskan saat ini yang paling terpenting adalah kejelasan aturan terkait konsolidasian. Pasalnya dengan kekosongan aturan akan membuat pemegang saham menjadi ragu terhadap wacana konsolidasi operator telekomunikasi.
Dirinya menyampaikan Indosat ingin agar setelah konsolidasi maka frekuensi tetap dikembalikan kepada operator. Apalagi saat ini operator telekomunikasi memiliki spektrum kecil karena terlalu banyak pemain, menjadi kontradiktif bila usai konsolidasi spektrum justru diambil kembali oleh pemerintah.
“Perseden sebelumnya, ketika merger atau akuisisi spektrum tidak diambil, malah dalam kasus tertentu ditambah. Tetapi pas XL dan Axis diambil, itu karena aturannya tidak ada, jadi sekarang pemegang saham ragu karena tidak ada kepastian,” ujarnya.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan terkait dengan rencana konsolidasi, manajemen menyerahkan kepada pemegang saham. Yang jelas, saat ini manajemen menunggu adanya aturan jelas mengenai merger dan akuisisi yang akan dirilis.
Tri Wahyuningsih, Group Head Corporate Communication XL Axiata menjelaskan bahwa perusahaan masih mempelajari dan mengkaji terkait tiga opsi pasca konsolidasi. Dirinya belum mau menanggapi terlalu jauh mengenai rencana penerapan tiga opsi yang ada saat ini.
“Harapannya seperti itu (mempermudah terjadinya konsolidasi) tetapi kami belum bisa memberikan komentar sampai dengan kami selesai mempelajari semua opsi yang ada,” tambahnya,
Sementara itu, Mohammad Ridwan Efendi, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB menyatakan bahwa tiga opsi pemberian frekuensi yang saat ini tengah digodok berpotensi melanggar aturan yang sudah ada di UU Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 dan 53 tahun 2000.
Menurutnya, portofolio bisnis penyelenggara jaringan telekomunikasi harus dievaluasi secara menyeluruh. Yang paling penting, terjadinya persaingan usaha yang sehat serta kebutuhan pelanggan bisa tetap dilayani dengan kualitas layanan yang baik.
“Seharusnya dilakukan evaluasi menyeluruh proyeksi bisnisnya sehingga dapat ditentukan layaknya mendapat spektrum berapa,” tambahnya.
Dirinya menjelaskan terkait konsolidasi, isu spektrum bukan menjadi alasan perusahaan merger atau tidak. Namun yang jelas, rencana merger atau akuisisi ini harus diawasi secara ketat, jangan sampai aksi korporasi ini dilakukan hanya untuk menumpuk kekayaan frekuensi saja.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News