Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belakangan ini pemerintah dan industri kelapa sawit dibikin pusing oleh resolusi Parlemen Uni Eropa (UE) yang mengusulkan penghapusan minyak sawit sebagai sumber biodiesel. Karena itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk mencegah usulan tersebut menjadi kebijakan bersama di Benua Biru tersebut. Apalagi resolusi tersebut masih belum mengikat secara hukum. Maka masih ada peluang Indonesia mencegahnya menjadi keputusan bersama UE.
Menurut Rosediana Suharto, Direktur Eksekutif Responsible Palm Oil Initiatives (RPOI) terdapat perbedaan prinsip antara Indonesia dan pihak UE mengenai definisi phasing out atau pengurangan pemakaian sawit sebagai sumber energi terbarukan. Dalam perspektif Indonesia, istilah phasing out sama dengan memboikot minyak sawit masuk ke Eropa.
“Tetapi Eropa pandangannya berbeda. Phasing out ini minyak sawit tetap bisa masuk Eropa. Namun, penggunaan biodiesel sawit tidak dimasukkan dalam target pengurangan gas emisi karbon mereka. Disinilah, kita ingin minta kejelasan mereka,” ujar Rosediana, Rabu (2/5).
Sementara itu, Eddy Esselink, Manajer Program Pembangunan Berkelanjutan Perusahaan agrikultur Belanda MVO menabahkan, resolusi parlemen UE tidak punya kekuatan hukum. Karena proses legislasi di Uni Eropa harus melalui trialog yaitu parlemen, council, dan commision. “Hanya komisi yang dapat mengajukan legislasi. Selanjutnya perlu ada kesepakatan bersama dengan council,”imbuhnya.
Mahendra Siregar, Direktur Council of Palm Oil Producer Countries (CPOPC) atau Dewan Negara Produsen Kelapa Sawit menjelaskan bahwa negara produsen sawit seperti Indonesia, Malaysia dan lima negara produsen lainnya telah mengirimkan surat bersama ke berbagai lembaga di Uni Eropa untuk memprotes penghapusan penggunaan sawit sebagai sumber biofuel.
Menurut Mahendra, posisi negara-negara Uni Eropa telah dipetakan mana yang pro dan kontra resolusi sawit. Untuk negara di kawasan Eropa Timur kemungkinan mendukung resolusi lantaran tidak ingin bergantung kepada sawit. Negara nordik berpotensi mendukung perdagangan yang terbuka.
Fadhil Hasan, Ketua Bidang Luar Negeri GAPKI,menyebutkan bahwa keputusan parlemen Uni Eropa belum menjadi undang-undang yang harus dijalankan. Diperlukan trialog dengan Komisi Eropa dan Dewan Eropa untuk mencapai keputusan untuk dilaksanakan di negara-negara anggota EU. Mulai tanggal 27 Maret ini, ketiga badan EU tersebut memasuki putaran kedua perundingan trialog.
“Posisi masing-masing negara anggota EU berbeda-beda, demikian pula posisi parlemen, komisi dan dewan. Hasilnya belum kita ketahui sampai keputusan diperkirakan baru diambil pada 2019,” pungkasnya.
Pradnyawati, Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan tetap optimistis bahwa Indonesia dapat menghadapi usulan Parlemen Uni Eropa untuk menghapuskan sawit menjadi sumber biodiesel pada 2021. "Komisi Eropa tidak sekeras parlemen karena sejalan dengan council yang menjadi perwakilan negara EU,"ujarnya.
Pradnyawati melanjutkan pelarangan palm oil biofuel melanggar prinsip non diskriminasi General Agreement on Tariff and Trade (GATT) di bawah WTO. Salah satunya artikel XI:I dan Artikel XIII yaitu selain bea masuk, pajak, atau pengenaan biaya lain, tidak boleh ada pelarangan atau pembatasan yang diberlakukan dalam bentuk kuota, lisensi impor, dan ekspor. Dimana hal tersebut harus diberlakukan terhadap barang sejenis yang diimpor semua negara.
Ia bilang resolusi Parlemen Uni Eropa sempat diusulkan pada 2016 untuk pertama kalinya. Ada sejumlah usulan antara lain penghapusan sawit dari sumber bahan baku biodiesel, skema single certification, dan perbedaan perlakuan antara minyak sawit bersertifikat dan non sertifikat "Tetapi, usulan tersebut ditolak Komisi Eropa dengan pertimbangan mengapresiasi upaya negara lain. Berkaca dari situ, saya optimis masih ada harapan," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News