kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Untung rugi pajak pemandangan apartemen


Kamis, 09 April 2015 / 23:15 WIB
Untung rugi pajak pemandangan apartemen
ILUSTRASI. Manfaat jus lidah buaya untuk kesehatan sudah tidak diragukan lagi.


Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Wacana pemerintah memberlakukan pajak pemandangan (view tax) untuk apartemen atau hunian vertikal dinilai bakal berimplikasi negatif, sekaligus positif.

Menurut Ketua DPP Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy, selama ini, banyak pengembang atau pengusaha yang mau membuka lahan di tempat terpencil meskipun infrastrukturnya terbatas. Merekalah yang nantinya terpengaruh atas kebijakan ini.

"Umpamanya resor di suatu daerah sangat terpencil punya view sangat bagus. Meski dengan keterbatasan infrastruktur, orang mau berinvestasi di sana. Orang itu berani investasi di tempat dengan view bagus namun kondisi infrastruktur sederhana," ujar Eddy seperti dikutip dari Kompas.com, Kamis (9/4).

Artinya, kata Eddy, jika pajak bumi dan bangunan (PBB) diberlakukan atas dasar aspek pemandangan bagus, maka pengembang bisa menahan diri berinvestasi di tempat yang infrastrukturnya sederhana.

Sebaliknya, kebijakan ini bisa menguntungkan bagi pengembang properti terbangun yang memiliki pemandangan kurang bagus. Saat ini, pajak properti dengan pemandangan bagus dan tidak, sama saja. Padahal, pengembang properti dengan pemandangan kurang bagus, berusaha lebih keras memasarkan produknya dibandingkan properti dengan pemandangan indah.

Eddy menambahkan, untuk pajak lantai apartemen lebih tinggi juga perlu kajian. Saat ini, unit apartemen di lantai yang lebih tinggi harganya memang sedikit lebih mahal. Selain mendapatkan pemandangan yang lebih baik, penghuni juga dikenai biaya tinggi karena ongkos konstruksi lebih banyak.

Jika memang pemerintah mau memberlakukan pajak pemandangan pada ketinggian lantai, pemerintah perlu membuat perhitungan, sampai lantai berapa perbedaan pajak ditetapkan. "Apakah perlu kita membuat perbedaan begitu detail? Apa tidak membingungkan? Kan kajiannya tidak gampang," kata Eddy.

Selain itu, tambah dia, pemerintah juga perlu melihat kapan penerapan kebijakan tersebut dimulai. Kalau saat sekarang diberlakukan, kurang tepat karena bisnis properti sedang lesu. Pasalnya, ada berbagai kebijakan pemerintah yang saat ini sudah diterapkan, contohnya penerapan loan to value (LTV) oleh Bank Indonesia. LTV ini terbukti menjadi penyebab utama turunnya angka pertumbuhan penjualan properti.

Eddy menilai, penurunan kinerja penjualan tersebut akan semakin anjlok drastis dan membuat bisnis properti tertahan bila kemudian pajak pemandangan diberlakukan. Kelas properti yang paling sensitif kena imbas kebijakan ini adalah menengah ke atas. Tak hanya itu, implikasi luasnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Eddy memprediksi, sampai 2016, bisnis properti belum terlihat akan membaik. "Kami sih berharap, tahun ini bisa membaik. Umpamanya ada kebijakan bagus sehingga banyak investor datang dan properti terdongkrak," jelas Eddy.

Meski begitu, Eddy menilai, kebijakan ini juga memiliki sisi positif yaitu akan memberikan subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akibat pengurangan dan penghapusan PBB. (Arimbi Ramadhiani)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×