Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembayaran utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng masih mandek tidak menemui titik terang.
Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mengusulkan agar ada pemangkasan pajak bagi perusahaan yang terdaftar dalam kebijakan minyak goreng satu harga, jika pemerintah enggan membayar utang tersebut.
"Iya ini solusi, di cut dari corporate tax , tapi harus ada instruksi dari presiden karena ga mungkin Kementerian Keuangan melakukan tanpa instruksi," kata Direktur Eksekutif Gimni Sahat Sinaga ditemui usai Urun Rembuk Industri Sawit di Jakarta, Kamis (18/1).
Baca Juga: Pemerintah Tak Kunjung Bayar Utang Minyak Goreng ke Pengusaha
Sahat menegaskan pemangkasan pajak ini bisa dijadikan solusi untuk pembayaran utang rafaksi minyak goreng. Namun demikian, ia meminta agar ada payung hukumnya melalui Instruksi Presiden (Inpres).
Hal ini untuk memastikan ada kepastian bayar yang diperoleh produsen minyak goreng. Terlebih, regulasi satu harga minyak goreng terkait selisih utang ini memang telah dihapus.
"Fakta itu ada, persoalan kekosongan hukum. Maka baiknya Presiden mengatakan oke (Inpres), sehingga meskipun tidak ada hukumnya, (inpres) jadi payung hukum baru," jelas Sahat.
Usulan lainya adalah menempuh jalur hukum di Mahkamah Agung (MA), mengingat hak pembayaran selisih utang ini sudah dua tahun lamanya tidak dibayar dengan dalih kekosongan aturan.
Baca Juga: Mengapa Pemerintah Tak Segera Bayar Utang Rafaksi Minyak Goreng?
"Biar Mahkamah Agung yang putuskan dari segi aspek hukumnya. Udah harus melalui hukum itu karena persoalannya dihukum yang nggak jelas, nggak ada yang berani tanggung jawab,” ujar Sahat.
Diketahui polemik rafaksi minyak goreng berawal dari kebijakan satu harga melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 3 Tahun 2022.
Beleid ini mewajibkan peritel untuk menjual minyak goreng kemasan dengan harga seragam yaitu sebesar Rp 14.000/ per iter.
Sementara selisih harganya akan dibayar 17 hari kerja setelah peritel melengkapi dokumen pembayaran kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Hanya saja, sebelum pembayaranya rampung, regulasi tersebut dicabut dan digantikan oleh Permendag No 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng.
Meski begitu, pasal 9 balied ini secara tegas mengatakan pelaku usaha yang terdaftar dan telah melaksanakan penyediaan minyak goreng, wajib dibayar setelah melkukan verifikasi oleh surveyor.
Baca Juga: Pengusaha Akan Bawa Kasus Utang Minyak Goreng Pemerintah ke Polisi
Dirasa belum cukup, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan meminta pendapat hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk memperkuat hukum pembayaran utang rafaksi.
Namun, dalam pendapat hukumnya, Kejagung menyebut masih terdapat kewajiban hukum BPDPKS untuk menyelesaikan pembayaran dana pembiayaan.
Meski sudah menerima pendapat hukum dari Kejagung, Zulhas tak mau terburu-buru untuk membayar utang tersebut.
Alih-alih langsung membayar, pihaknya meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk meninjau ulang hasil verifikasi PT Sucofindo selaku verifikator independen terkait beda klaim pembayaran yang dilakukanya dengan klaim produsen dan peritel.
Baca Juga: Gugatan Rp 1,6 T Produsen Minyak Goreng Terhadap Mendag Masuk Proses Persidangan
Dengan dalih kehati-hatian, Kemendag juga meminta agar keputusan pembayaran utang ini dikembalikan kepada Kementerian Perekonomian.
Hanya saja, hingga saat ini pembayaran utang juga belum terlaksana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News