kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.866.000   -20.000   -1,06%
  • USD/IDR 16.535   -35,00   -0,21%
  • IDX 7.059   79,06   1,13%
  • KOMPAS100 1.024   12,18   1,20%
  • LQ45 798   11,34   1,44%
  • ISSI 222   1,58   0,72%
  • IDX30 416   6,84   1,67%
  • IDXHIDIV20 491   8,63   1,79%
  • IDX80 115   1,37   1,20%
  • IDXV30 117   0,85   0,73%
  • IDXQ30 136   2,16   1,62%

UU Penyiaran digugat, industri TV nasional tidak bisa bersaing dengan bisnis OTT?


Minggu, 30 Agustus 2020 / 18:35 WIB
UU Penyiaran digugat, industri TV nasional tidak bisa bersaing dengan bisnis OTT?
ILUSTRASI. Industri televisi. KONTAN/Carolus Agus Waluyo


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo

Sehingga bisa untuk menata kembali sistem yang mengatur kepemilikan media, penggunaan atau jual-beli frekuensi, penjaminan keberagaman dan nilai keadaban dalam konten. "Agar lebih demokratis, yang mengusung tinggi prinsip diversity of ownership dan diversity of content. Tanpa itu, yang terjadi nanti adalah monopoli," terang Leonardus.

Apalagi, revisi UU No. 32/2022 atau UU Penyiaran sebenarnya sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) namun masih tertunda hingga sekarang. "(Gugatan UU Penyiaran) salah momentum, sebaiknya energinya langsung saja ke revisi UU," imbuhnya.

Leonardus mengingatkan, jika siaran yang basisnya menggunakan non-frekuensi diatur sama ketatnya dengan siaran yang berbasis frekuensi, akan rawan menimbulkan masalah. "Inovasi digital juga akan terhambat ketika ikut diatur dalam logika atau pemahaman penyiaran yang nature-nya highly regulated," ungkapnya.

Baca Juga: Ini pertimbangan DPR tarik 16 RUU dari prolegnas prioritas tahun 2020

Kata dia, kebijakan yang terkait dengan teknologi memang wajib melindungi hak dasar warga negara, namun di saat yang bersamaan juga perlu menjadi enabler agar inovasi bisa tumbuh. 

Terkait dengan bisnis siaran secara konvensional dan digital, Leonardus menilai bahwa industri TV nasional semestinya tidak perlu merasa terancam.  Merujuk pada kajian Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel) tentang belanja iklan tahun 2019, disebutkan bahwa belanja iklan tahun lalu masih tumbuh 10% secara tahunan.

Total belanja iklan 2019 baik di media televisi, radio maupun cetak mencapai Rp168 Triliun berdasarkan gross rate card. Televisi masih mendominasi 85% porsi belanja iklan dengan angka lebih dari Rp143 Triliun, tumbuh 14% dibandingkan 2018. 

Total belanja iklan digital di 2019 mencapai Rp 13,3 Triliun. Disandingkan dengan belanja iklan media lainnya, Digital menyumbang 7% dari total belanja iklan. "Nyatanya, lapak TV masih aman. Pendapatan iklan masih dapat kue terbesar. Digital hanya sepersepuluh saja," pungkas Leonardus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Thrive

[X]
×