kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UU Penyiaran digugat, industri TV nasional tidak bisa bersaing dengan bisnis OTT?


Minggu, 30 Agustus 2020 / 18:35 WIB
UU Penyiaran digugat, industri TV nasional tidak bisa bersaing dengan bisnis OTT?
ILUSTRASI. Industri televisi.?KONTAN/Carolus Agus Waluyo


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gugatan berupa uji materil Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 atau UU Penyiaran, berkaitan dengan penyiaran berbasis internet dalam layanan Over The Top (OTT) menyita perhatian publik. Gugatan tersebut diajukan oleh RCTI dan iNews TV ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai gugatan tersebut tak lepas dari persaingan bisnis konvensional dan digital yang marak mengemuka. Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef, Nailul Huda memberikan perbandingan, persoalan ini tak ubahnya di masa-masa awal kehadiran transportasi online seperti Go-Jek dan Grab yang membuat kinerja perusahaan angkutan konvensional menjadi merosot.

Menurut Huda, gugatan UU Penyiaran tersebut justru menandakan industri televisi (TV) nasional tidak dapat bersaing dengan bisnis video Over The Top (OTT) seperti Netflix dan YouTube. "Memang ada beberapa perusahaan media televisi atau radio yang sudah beradaptasi dengan teknologi, namun memang ada beberapa yang tidak dapat beradaptasi," kata Huda kepada Kontan.co.id, Minggu (30/8).

Kata dia, industri siaran saat ini hampir semuanya mengarah ke bisnis on demand, sehingga konsumen bisa menentukan akan menonton program siaran seperti apa, tergantung seleranya. Bahkan video on demand seperti Youtube, Netflix, ataupun media sosial tengah berkembang menjadi salah satu media penyiaran ataupun media iklan yang lebih luas jangkauannya. 

Baca Juga: Minta kesetaraan dengan OTT, asosiasi TV swasta (ATVSI) dukung gugatan UU Penyiaran

Jika diatur seperti perusahaan penyiaran konvensional, imbuh Huda, maka akan ada batasan-batasan yang menyulitkan perusahaan video OTT untuk berkembang. Sehingga, dia mengusulkan bisnis video on demand seperti OTT ini diatur dengan regulasi yang berbeda, bukan lewat perubahan UU Penyiaran.

"Karena proses bisnisnya pun berbeda. Maka dari itu, bukan mengubah UU penyiaran, tapi diatur dalam aturan khusus yang mengatur layanan video OTT," jelas Huda.

Dia mencontohkan transportasi online juga tidak diatur dalam UU Lalu Lintas, melainkan dalam peraturan setingkat menteri. "Karena menurut saya, pola bisnis berbeda memerlukan pengaturan yang berbeda pula," imbuhnya.

Dihubungi terpisah, Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Leonardus K. Nugraha berpandangan bahwa isu ini perlu dilihat lebih dalam tak hanya dari sisi bisnis konvensional vs digital semata. Menurutnya, momentum ini mesti menjadi penekanan perlunya membuat UU Penyiaran dan telekomunikasi baru.

Sehingga bisa untuk menata kembali sistem yang mengatur kepemilikan media, penggunaan atau jual-beli frekuensi, penjaminan keberagaman dan nilai keadaban dalam konten. "Agar lebih demokratis, yang mengusung tinggi prinsip diversity of ownership dan diversity of content. Tanpa itu, yang terjadi nanti adalah monopoli," terang Leonardus.

Apalagi, revisi UU No. 32/2022 atau UU Penyiaran sebenarnya sudah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) namun masih tertunda hingga sekarang. "(Gugatan UU Penyiaran) salah momentum, sebaiknya energinya langsung saja ke revisi UU," imbuhnya.

Leonardus mengingatkan, jika siaran yang basisnya menggunakan non-frekuensi diatur sama ketatnya dengan siaran yang berbasis frekuensi, akan rawan menimbulkan masalah. "Inovasi digital juga akan terhambat ketika ikut diatur dalam logika atau pemahaman penyiaran yang nature-nya highly regulated," ungkapnya.

Baca Juga: Ini pertimbangan DPR tarik 16 RUU dari prolegnas prioritas tahun 2020

Kata dia, kebijakan yang terkait dengan teknologi memang wajib melindungi hak dasar warga negara, namun di saat yang bersamaan juga perlu menjadi enabler agar inovasi bisa tumbuh. 

Terkait dengan bisnis siaran secara konvensional dan digital, Leonardus menilai bahwa industri TV nasional semestinya tidak perlu merasa terancam.  Merujuk pada kajian Nielsen Advertising Intelligence (Ad Intel) tentang belanja iklan tahun 2019, disebutkan bahwa belanja iklan tahun lalu masih tumbuh 10% secara tahunan.

Total belanja iklan 2019 baik di media televisi, radio maupun cetak mencapai Rp168 Triliun berdasarkan gross rate card. Televisi masih mendominasi 85% porsi belanja iklan dengan angka lebih dari Rp143 Triliun, tumbuh 14% dibandingkan 2018. 

Total belanja iklan digital di 2019 mencapai Rp 13,3 Triliun. Disandingkan dengan belanja iklan media lainnya, Digital menyumbang 7% dari total belanja iklan. "Nyatanya, lapak TV masih aman. Pendapatan iklan masih dapat kue terbesar. Digital hanya sepersepuluh saja," pungkas Leonardus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×