kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Data produksi kakao jomplang, kebijakan meleset?


Minggu, 07 Agustus 2016 / 15:31 WIB
Data produksi kakao jomplang, kebijakan meleset?


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Sanny Cicilia

JAKARTA. Akurasi data produksi komoditas pertanian telah menjadi sorotan sejak lama. Simpang siurnya data komoditas pertanian ini tidak hanya terjadi pada produksi padi, tapi juga pada produksi kakao.

Pemerintah mengklaim, data yang dimilikinya berbeda dengan keluaran asosiasi. Berdasarkan data pemerintah, produksi kakao mencapai 700.000 ton per tahun. Sedangkan berdasarkan industri hanya 350.000 per tahun. 

Perbedaan itu menyebabkan kebijakan pengembangan kakao didasarkan data yang tak akurat. 

Mantan Direktur Rempat Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kemtan) Azwar AB bilang, data produksi kakao yang dikeluarkan pemerintah tidak akurat. Hal itu terlihat dari pengakuan dunia internasinal yakni International Cocoa Organization (ICCO) yang memilih mengakui data industri.

"Ketika pemerintah tidak dapat menyelesaikan disparitas angka produksi tersebut, maka kita telah memasuki krisis data Kakao Indonesia. Tanpa adanya data yang akurat maka kita tidak punya standar untuk mengukur keberhasilan dari program yang kita laksanakan selama ini,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/8).

Menurut Azwar, pengakuan dunia internasional pada data kakao yang dikeluarkan industri patut disayangkan. Sebab semua kerja pemerintah selama ini tampak sia-sia dan tidak bernilai. Padahal, banyak petani di lapangan yang menikmati manfaat program pemerintah dalam pengembangan kakao seperti program Gerakan Nasional Kakao (Gernas) dan Kakao Berkelanjutan.

Selain itu, menurut Azwar, angka produksi nasional menjadi dasar pengambilan kebijakan. Jika benar angka produksi nasional 350.000 ton maka akan memberikan justifikasi membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan industri yang diperkirakan mencapai 600.000 ton per tahun.

Artinya angka 350.000 ini diperoleh dari pendekatan formal dengan menjumlahkan kapasitas terpasang industri, ditambah biji kakao yang diekspor dikurang impor. Hanya pendekatan ini tidak memperhitungkan biji kakao yang keluar dari Indonesia lewat pasar gelap.

Sedangkan angka dari Kemtan dihitung berdasarkan produksi di kebun hasil perhitungan para mantri kebun. Namun inipun diragukan karena terkait soal akurasi data. Jadi kedua angka itu bisa diragukan validitasnya, hanya bukan berarti industri atau swasta bisa menjadi penentu angka produksi nasional.

Artinya itu merupakan kewenangan pemerintah yang seharusnya pemerintah berani menetapkan angka nasional. "Sekiranya angka yang ada meragukan, sebaiknya segera dialokasikan anggaran untuk pendataan menyeluruh atau dibentuk tim memverifikasi angka produksi kakao nasional,” tambah Azwar.

Hal senada disampaikan Edhy Prabowo, Ketua Komisi IV DPR RI, bahwa pemerintah harus menyelesaikan segera disparitas angka ini agar tidak berlarut-larut. Bahkan dengan adanya kekuatan di atas negara yang bisa menentukan angka produksi Indonesia pemerintah wajib menyampaikan protes kepada ICCO karena mengakomodir angka yang bukan berasal dari Kementerian Pertanian yang menangani perkebunan kakao.

“Jadi seharusnya juru bicara yang terbaik sebagai wakil dari stakeholder kakao adalah Dewan Kakao Indonesia yang mencakup seluruh komponen stakeholder dan bukan asosiasi tertentu,” tegas Edhy.

Oleh sebab itu, Edhy mendesak pemerintah segera menyelesaikan masalah ini. Jika perlu disiapkan tim khusus untuk menuntaskan masalah ini. Mengingat implikasi luas dari perbedaan angka ini terhadap kebijakan nasional.


 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×