kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Masa depan industri pulp tak pasti


Senin, 23 Oktober 2017 / 11:10 WIB
Masa depan industri pulp tak pasti


Reporter: Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) mencabut izin operasional hutan tanaman industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) berdampak pada ketidakpastian masa depan industri pulp dan kertas. Pencabutan itu dilakukan dengan membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan No SK.93/2013 tentang Persetujuan Revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) untuk jangka waktu 10 tahun.

Guru Besar IPB Basuki Sumawinata menilai, sekitar 2,5 juta hingga 3 juta hektare (ha) industri pulp dan kertas yang beroperasi di lahan HTI. Sekitar 60% dari HTI yang dioperasikan itu berada di lahan gambut, yang terlarang menurut KLHK Nomor P.17/2017.

Aturan baru itu melarang menanam di areal gambut meskipun sebelumnya telah berizin. "Kalau pemerintah adil, bukan hanya RAPP yang RKU-nya dicabut. Tetapi semua perusahaan pulp dan kertas juga terkena dampak aturan ini," ujar dia kepada KONTAN, Minggu (22/10).

Menurut Basuki rata-rata produksi pulp dan kertas mencapai 8 juta hingga 9 juta ton per tahun. Bila semua perusahaan yang beroperasi di atas lahan HTI yang ada gambutnya terkena beleid ini, maka hal ini akan menjadi pukulan berat bagi pengembangan industri pulp dan kertasdi Indonesia.

Ia melanjutkan, beleid ini tidak hanya menyulitkan industri pulp dan kertas, tetapi juga perkebunan kelapa sawit yang berada di lahan gambut. Untuk itu, ia meminta sikap tegas pemerintah, dan tidak tebang pilih dalam menjalankan kebijakan tersebut. Sebab sebelumnya banyak pihak sudah mengingatkan konsekuensi aturan ini.

Mencari solusi

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menghitung ada sekitar 100 perusahaan yang memiliki HTI di lahan gambut. Ia sangat menyayangkan pencabutan dokumen RKU lama RAPP karena hingga waktu yang ditentukan, RAPP belum menyampaikan dokumen revisi RKU sesuai dengan arahan. "APHI sedang berkonsultasi dengan pemerintah supaya terdapat solusi yang tepat kepada RAPP," imbuhnya.

Purwadi menjelaskan bahwa meski terdapat pencabutan RKU, tapi RAPP masih dapat menjalankan kegiatan operasional perusahaan seperti pabrik dan penjualan.

"Kecuali penanaman kembali di areal eks panen HTI di fungsi lindung gambut sambil secara paralel harus menyampaikan revisi RKU sesuai dengan jadwal yang ditetapkan KLHK," tambahnya.

Ketua Himpunan Gambut Indonesia (HGI) Supiandi Sabiham menambahkan, adanya kebijakan ini tidak hanya merugikan RAPP, tetapi juga masyarakat di Provinsi Riau yang sudah banyak berkembang karena adanya RAPP.

Supiandi menyayangkan kebijakan KLHK yang terkesan terburu-buru mencabut izin RKU RAPP. Menurutnya, pencabutan izin RKU tidak dapat dilakukan dalam waktu yang begitu cepat. Ia beralasan, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan verifikasi atas indikasi pemanfaatan kawasan lindung sebagai area budidaya.

Sayangnya, waktu untuk verifikasi hingga perubahan RKU yang diberikan KLHK tergolong singkat. "Padahal lahan yang perlu diverifikasi bukan hanya satu atau dua ha, tetapi ratusan ribu ha," ujar Supiandi.

Seperti diketahui, pencabutan izin RKU RAPP tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.5322/2017 tanggal 16 Oktober 2017. Surat itu ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK, Bagus Putera Perthama, dan berlaku efektif 18 Oktober 2017.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×