kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerintah revisi harga listrik berbasis sampah


Kamis, 15 Agustus 2013 / 17:18 WIB
Pemerintah revisi harga listrik berbasis sampah
ILUSTRASI. Bruntusan di jidat


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Pemerintah terus menggenjot peningkatan investasi pemanfaatan sampah kota sebagai sumber energi baru dan terbarukan. Peningkatan investasi didorong dengan peluncuran Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN dari pembangkit listrik berbasis sampah kota.

Melalui beleid ini, pemerintah merevisi harga jual listrik berbasis sampah kota dengan kapasitas sampai dengan 10 MegaWatt (MW) yang wajib dibeli PT PLN.

Saat ini, harga jual listrik dengan teknologi sanitary landfill sebesar Rp 1.250 per kilo watt hour (kWh) dan dengan teknologi zero waste harganya sebesar Rp 1.450 per kWh.

Dibandingkan harga yang diatur pada Permen ESDM Nomor 4 Tahun 2012, penetapan harga jual listrik berbasis sampah kota tersebut naik sebesar Rp 400 per kWh untuk masing-masing teknologi.  

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan, pemerintah berupaya untuk terus meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan khususnya bersumber dari sampah kota.

"Permen Nomor 4 Tahun 2012 belum mampu menarik investasi, sehingga dengan revisi ini investor akan semakin banyak yang tertarik," ujarnya di Jakarta, Kamis (15/8).

Memiliki nilai tambah

Menurut Rida, peraturan baru ini merupakan upaya menyinergikan kepentingan pengelolaan sampah untuk kepentingan energi dan kebersihan kota. Rida menilai, pemanfaatan sampah sebagai sumber energi memiliki nilai tambah dibanding sumber energi lainnya karena terkait kebersihan lingkungan.

Rida mengatakan, pengelolaan Pembangkit Listrik Sampah Kota (PLTSa) akan difokuskan untuk kota-kota besar yang bermasalah dengan pengelolaan sampah. Menurut Rida, permasalahan pembangunan PLTSa terkendala investasi yang cukup besar dan menarik minat pengembang.

Secara teknis, lanjut Rida, Pemerintah Daerah (Pemda) harus menunjuk terlebih dahulu badan usaha atau pengembang pengelola PLTSa di daerah.

Kemudian badan usaha yang telah ditunjuk Pemda itu, mengajukan permohonan kepada Kementerian ESDM agar ditetapkan sebagai pengembang sampah kota untuk pembangkit listrik.

Sampai akhir tahun 2012, total kapasitas PLTSa yang telah terpasang dan terhubung pada jaringan PLN di seluruh Indonesia mencapai 75,5 MW. Lokasi PLTSa menyebar di beberapa daerah seperti Riau, Bangka, Sumatera Utara, Belitung, Bali, dan Bekasi.

Beberapa perusahaan pengembang PLTSa, antara lain, PT Riau Prima Energy, PT Listrindo Kencana, PT Growth Sumatra, PT Pelita Agung, dan PT Navigat Organic Energy Indonesia.

Mengembangkan PLTSa baru

Di tahun ini, pemerintah berencana mengembangkan PLTSa baru. Proyek ini dilaksanakan oleh pengembang PT Navigat Organic dengan lokasi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang Bekasi dengan kapasitas 2 MW.

Manager Senior Energi Alternatif PT PLN, Rasulong mengatakan, dengan beleid baru ini diharapkan akan lebih banyak sumber pasokan listrik ke PLN berbasis sampah kota. "Semoga akan semakin ramai pengembang yang ikut berkontribusi memasok listrik," ujarnya.

Menurut Rasulong, lokasi PLTSa ke depannya harus lebih banyak berlokasi di luar pulau Jawa seperti di daerah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Ia beralasan, di daerah luar pulau Jawa lebih membutuhkan pasokan listrik.

Dia bilang, pihak PLN sendiri tidak terlalu mempermasalahkan semakin tingginya beban biaya pembelian. Ia menilai, PLN malah semakin terbantu dengan semakin banyaknya pasokan energi baru.

Vice President Project Coordinator Environmental Finance PT Navigat Organic Energy Indonesia, Cynthia Hendrayani menimpali, pihaknya menyambut baik peningkatan tarif pembelian listrik dari PLN.

"Nilainya semakin baik dari yang sebelumnya sebesar Rp 820 per kWh, walaupun belum bisa menutup biaya produksi perusahaan," ujarnya.

Biaya produksi 1 kWh Rp 1.700

Menurut Cynthia, biaya produksi untuk menghasilkan satu kWh sendiri mencapai Rp 1.700. Cynthia mengatakan, perusahaan terpaksa menutup pengeluaran dari pemasukan lainnya seperti biaya menata sampah yang diberikan Pemda.

Sesuai kontrak kerjasama dengan Pemda pengembang mendapatkan pemasukan dari pemda untuk penataan sampah yang masuk ke TPA. Tarif untuk penataan sampah sendiri sebesar Rp 114.000 per ton untuk TPA Bantar Gebang.

PT Navigat Organic mengelola PLTSa di dua tempat yaitu di Bantar Gebang Bekasi dan di Bali. Untuk PLTSa Bantar Gebang memilki kapasitas 12,5 MW dan di Bali sebesar 2MW.

Nilai investasi pembangunan PLTSa di Bantar Gebang mencapai US$ 35 juta atau setara RP 350 miliar. Pihak PT Navigat Organic berharap mampu memperoleh keuntungan atau kembali modal pada 15 tahun ke depan sejak pengiriman listrik pertama kali pada Februari 2011.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×