kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengamat: Keputusan HET bagai makan simalakama


Jumat, 22 September 2017 / 19:26 WIB
Pengamat: Keputusan HET bagai makan simalakama


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita mengungkap, mulai Senin mendatang tidak akan ada toleransi dalam pelaksanaan harga eceran tertinggi (HET) beras. Bahkan, menurutnya akan diadakan pemeriksaan bersama dengan Satgas Pangan apabila terdapat pedagang yang melanggar aturan ini.

Menanggapi hal ini, pengamat pertanian Husein Sawit, mengungkap, jika kebijakan ini tetap dilaksanakan maka akan memunculkan kerugian baik kepada petani dan penggilingan padi. "Kalau HET terlalu dipaksakan maka akan seperti memakan buah simalakama, mau memajukan petani menghancurkan penggilingan. Memajukan penggilingan, memperkecil pendapatan petani," ujar Husein.

Menurut Husein, jika harga gabah atau harga gabah kering panen (GKP) berada di angka Rp 4.800 atau lebih per kilogram, maka penggilingan akan menghentikan aktivitas bisnis. Pasalnya, ongkos produksi yang dibutuhkan sudah melewati HET yang ditentukan.

Husein mencontohkan, kalau harga GKP naik di atas Rp 4.800, penggilingan padi tidak bisa menggiling karena mengikuti HET yakni Rp 9.450. Dia tidak ada untung malah rugi. "Misalnya gabah Rp 4.900 per kg, hitungan kasarnya ongkos produksinya dua kali dari itu, maka harganya menjadi Rp 9.800 per kg, HET saja sudah Rp 9.450," tuturnya, Jumat (22/9).

Di lain sisi, ketika panen raya terjadi akan merugikan petani. Dia bilang, harga gabah akan terus turun karena tidak ada penggilingan yang membeli padinya. Akibatnya, petani akan protes karena tidak mendapatkan insentif dan kemungkinan akan berhenti menanam padi.

Bila hal itu terjadi maka akan berdampak pada penurunan luas areal panen. "Dampaknya kan bisa kepada ketahanan pangan, swasembada akan terganggu," ujarnya.

Bila hal ini terjadi, maka Bulog akan bertugas menyerap beras dari petani. Nantinya, negara pun akan merugi karena banyaknya beras yang harus diserap. Padahal, beras tersebut akan menusut dan menurun mutunya. Bahkan, terdapat biaya bunga yang harus ditanggung.

"Selama ini Bulog hanya menyerap 8% atau sekitar 3 juta ton saja. Kalau Bulog harus menyerap setidaknya 30% dari petani, atau sekitar 10 juta ton, maka biaya yang harus dikeluarkan setidaknya Rp 80 miliar, dengan harga beras setidaknya Rp 8.000 per kg. Apakah ada anggaran negara untuk itu?" tuturnya.

Padahal, menurutnya petani dan penggilingan memiliki peran untuk saling memperkuat dalam industri perberasan. Apabila salah satunya bahkan keduanya mengalami perlemahan, maka akan berdampak pada ketahanan pangan, khususnya swasembada pangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×