kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pengusaha penggilingan padi terus berkurang


Selasa, 21 Februari 2017 / 12:02 WIB
Pengusaha penggilingan padi terus berkurang


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Jumlah perusahaan penggilingan padi tanah air diperkirakan akan kembali berkurang di tahun ini. Menurut hasil pantauan dan observasi Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), sejak lima tahun terakhir, perkembangan perusahaan penggilingan menunjukkan tren penurunan.

“Kondisi penggilingan padi di Indonsia saat ini itu sudah terlalu banyak jumlahnya, tidak sebanding dengan produksi gabah. Istilahnya sudah over capacity,” jelas Burhanuddin, Sekjen Perpadi. Ia menjelaskan bahwa saat ini para pengusaha tersebut banyak yang berebut mencari gabah.

Hal ini menyebabkan persaingan antar pengusaha semakin ketat. Alhasil, perusahaan penggilingan skala kecil harus mengalah dan tutup karena modalnya terbatas. “Kira-kira sejak tahun 2012, penggilingan kecil banyak yang kolaps karena kesulitan modal untuk bersaing,” ujar Burhanuddin pada KONTAN, beberapa waktu lalu.

Ia tidak menyebut data pasti berapa jumlah perusahaan penggilingan padi saat ini. Data terakhir yang didapat oleh Perpadi adalah data sensus 2012 silam. Berdasarkan data sensus, jumlah perusahaan penggilingan padi 2012 adalah 182.191 perusahaan. Sekitar 94% merupakan penggilingan skala kecil, 1% penggilingan skala besar, dan sisanya 5% skala menengah. Sejak 2012, Pemerintah belum melakukan sensus kembali.

Penggilingan padi skala kecil terpaksa mundur di tengah ketatnya persaingan karena tidak memiliki modal tambahan untuk mengambil gabah dari daerah lain. Jadi kebanyakan penggilingan kecil mengandalkan produksi gabah di daerahnya sendiri.

“Beberapa penggilingan kecil yang masih bertahan hanya beroperasi ketika masa panen di daerahnya tiba. Sekitar 3 bulan – 4 bulan masa panen. Selebihnya ya tidak beroperasi,” terang Burhanuddin.

Burhanuddin menambahkan, saat ini perdagangan gabah sudah sangat dinamis, bisa antar provinsi bahkan antar pulau. Misal, gabah dari Lampung bisa dijual ke Jawa Barat. Cara inilah yang digunakan oleh penggilingan skala menengah dan besar agar dapat bertahan dari ketatnya persaingan.

“Kalau yang menengah dan besar, modalnya cukup, mampu membeli gabah dari daerah lain,” ujar Burhanuddin. Inilah yang membuat harga beras tinggi, karena harus ditambah biaya transportasi untuk distribusi gabah.

Di samping itu, tingginya harga gabah juga dianggap merugikan penggilingan skala kecil. Jika harga gabah tinggi, otomatis pengusaha kecil perlu menambah modal untuk membeli gabah. Atau mereka tidak perlu menambah modal, namun mengurangi jumlah gabah yang dibeli. Belum lagi ditambah biaya operasional yang semakin mahal.

Praktis, margin keuntungan yang mereka dapat juga semakin tipis. “Harga gabah tinggi memang bagus bagi petani. Namun bagi pengusaha penggilingan kecil, tingginya harga gabah bisa berarti menekan mereka karena kemampuan modal tambahan untuk membeli gabah terbatas,” pungkas Burhanuddin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×