kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sektor properti tak terpengaruh penurunan FLPP


Senin, 06 Agustus 2018 / 14:40 WIB
Sektor properti tak terpengaruh penurunan FLPP
ILUSTRASI. Rumah Tapak Timah Properti


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Agung Jatmiko

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Keputusan Menteri PUPR nomor 463/KPTS/M/2018 menurunkan porsi pembiayaan pada skema fasilitas likuiditas pembiayaan dan perumahan (FLPP). Sebelumnya pemerintah memberikan porsi mencapai 90%, dengan aturan tersebut saat ini pemerintah hanya memberikan porsi 75%.

Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban fiskal dan juga mendorong adanya penambahan target pembangunan rumah bersubsidi. Peraturan ini tidak akan berdampak terhadap permintaan dari rumah hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) karena tidak berkaitan langsung.

Eddy Ganefo, Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) menyampaikan bahwa aturan tersebut mengatur perubahan porsi antara pemerintah dengan bank pelaksana. Tidak ada persoalan yang berkaitan langsung dengan konsumen, beda bila ada perubahan tingkat suku bunga dan lainnya.

“Sebenarnya hal ini kembali ke program awal dimana pada zamannya Pak Suharso porsi pemerintah 70% dan porsi bank 30%. Justru ini akan menambah jumlah unit subsidi per tahunnya, saya mendukung perubahan ini selama subsidi bunga tetap diangka 5% untuk konsumen,” ujarnya kepada KONTAN, Senin (6/8).

Asmat Amin, Managing Director SPS Group menyampaikan bahwa aturan itu hanya skema perbankan saja tidak akan berpengaruh terhadap pembelian. Saat ini yang menjadi masalah justru sulitnya pelanggan melewati BI checking sehingga demand terhadap rumah MBR masih tersendat.

“Saya rasa skema (FLPP 75%) itu hanya perbankan saja, kalau demand karena itu cicilan tetap sama semuanya. Kecuali cicilan berubah karena kan yang paling penting itu cicilan sama uang muka,” ujarnya.

Saat ini menurutnya setiap tahun kebutuhan rumah hunian mencapai 800.000 unit hingga 1 juta unit, dari jumlah tersebut sebanyak 90% dari merupakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Disisi lain supply untuk rumah MBR saat ini tidak terlalu banyak karena tidak banyak pengembang yang mau masuk.

“Harga jual harus lebih fleksibel di kisaran Rp 150 juta hingga Rp 250 juta, kalau di harga itu pengembang akan berbondong-bondong membuat rumah subisidi sehingga pengembang dikasih keleluasaan untuk menjual rumah subisidi,” lanjutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×