Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberikan tenggat waktu hingga bulan Juni 2019 bagi 24 proyek pembangkit listrik Energi Terbarukan (ET) yang sudah melakukan kontrak jual beli atau Power Purchasing Agreement (PPA) sejak tahun 2017, tapi hingga kini masih terkendala pendanaan.
Kondisi itu tentu memberikan sinyalemen negatif di tengah upaya untuk mencapai target bauran ET sebesar 23% pada tahun 2025 mendatang. Apalagi, kapasitas total dari 24 proyek tersebut terbilang besar, yakni 324,12 Megawatt (MW). Jika 24 proyek tersebut jadi diterminasi, bagaimana dengan nasib bauran energi?
Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris memastikan, sekali pun terminasi itu terjadi, kondisi tersebut tidak akan menyusutkan bauran energi terbarukan yang sekarang ini telah dicapai. Harris menjelaskan, bauran energi dihitung dari pembangkit yang sudah terpasang, bukan dari jumlah kapasitas yang baru PPA.
"Jumlah kapasitas pembangkit yang sudah PPA tapi belum terinstall belum dihitung dalam bauran energi. Sehingga jika ada PPA yang terminasi tidak mempengaruhi bauran energi nasional," kata Harris kepada Kontan.co.id, Jum'at (22/3).
Adapun, dari target 23% bauran ET pada tahun 2025, capaian sampai tahun 2018 masih sekitar separuh dari angka yang ingin dicapai. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan tenaga Listrik (RUPTL) PLN tahun 2019-2028, bauran ET dalam kelistrikan hingga tahun lalu tercatat baru sebesar 12,42%.
Sepanjang tahun ini, target penambahan bauran pun terbilang tidak signifikan. "Target di tahun 2019 sebesar 12,55%" kata Harris.
Asal tahu saja, berdasarkan RUPTL 2019-2028, PLN menargetkan ada penambahan pembangkit listrik dari energi terbarukan sebesar 16.714 MW selama 10 tahun ke depan. Pada tahun ini, rencana penambahan kapasitas baru sebesar 560 MW.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, kondisi ini perlu mendapatkan perhatian yang serius. Pasalnya, meski tidak berpengaruh pada capaian bauran energi yang telah ada, tapi jika proyek-proyek tersebut diterminasi, maka hal itu membuka peluang terhambatnya capaian bauran energi 23% pada tahun 2025.
Alasannya, lanjut Fabby, 24 proyek pembangkit ET tersebut telah direncanakan memasuki masa operasi komersial atau Commercial Operation Date (COD) sekitar tahun 2021 dan 2022. Sehingga, jika proyek tersebut diterminasi, target COD tersebut hampir pasti akan ikut mundur jika proyek-proyek tersebut tidak cepat digantikan oleh pembangunan pembangkit yang baru.
"Jika dalam 1-2 tahun ini tidak ada proyek pengganti dan dilakukan percepatan maka target 23% bauran pembangkit ET pada 2025 bisa saja tidak tercapai," ungkap Fabby.
Lebih lanjut, Fabby menilai bahwa terhambatnya financial close (FC) dari 24 proyek Et tersebut harus mendapatkan evaluasi serius. Khususnya dampak dari regulasi terhadap bankability atau pembiayaan proyek tersebut, sehingga membuat proyek-proyek tersebut sulit menarik investasi.
Karenanya, menurut Fabby, evaluasi tersebut harus dilakukan secara komprehensif tidak hanya oleh PLN saja, melainkan juga melibatkan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan.
"Kita tahu permasalahan mereka adalah proyeknya tidak bisa dapat pendanaan dari bank. Perlu ditelusuri apa sebabnya. Mungkin pertanyaannya, mengapa proyek lain bisa dapat pendanaan? Evaluasi itu juga perlu melihat aspek dampak regulasi terhadap bankability," terang Fabby.
Sebelumnya, kepada Kontan.co.id, Ketua Asosiasi Perusahaan Pengembang Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni mengatakan sulitnya proyek listrik ET mendapatkan pendanaan disebabkan oleh faktor regulasi. Yakni Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017, khususnya terkait skema build, own, operate and transfer (BOOT) yang membuat investasi di bidang ini menarik.
"Itu karena pemerintah tidak friendly terhadap pembangkit EBT, khususnya yang berkenaan dengan aturan," ujarnya.
Riza pun mengatakan, pengembang pembangkit ET di sektornya ini mengharapkan ada perubahan regulasi pasca Pemilihan Presiden pada April nanti, terlepas siapa pun yang akan memenangkan kontestasi tersebut. "(Terminasi ditenggat hingga Juni), itu kan melewati Pilpres, itu yang kita harapkan, ada perubahan sikap dan regulasi dari pemerintah," ungkapnya.
Adapun, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sutijastoto meyakini di sisa waktu yang ada, ke-24 proyek ET yang terancam diterminasi itu dapat melanjutkan ke tahap financial closing dan pembangunan. Sehingga, capaian dan target bauran energi terbarukan bisa tetap terjaga.
"Dari sekarang sampai dengan Juni masih cukup waktu untuk membereskan masalah financial closing, apalagi (ke-24 proyek tersebut) sudah PPA," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News