kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada anggapan gross split merugikan investor migas, mitos atau fakta?


Jumat, 18 Oktober 2019 / 09:40 WIB
Ada anggapan gross split merugikan investor migas, mitos atau fakta?
ILUSTRASI. Wakil Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral Arcandra Tahar KONTAN Grace Olivia


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investasi minyak dan gas bumi ( migas) di Indonesia saat ini sudah memasuki babak baru. Dahulu para investor menggunakan skema cost recovery untuk pembagian hasil dari pengelolaan blok migas. Kini skemanya berbeda.

Sejak tahun 2017, pemerintah resmi mengubah kontrak kerja sama investasi di sektor hulu migas Indonesia dari skema cost recovery menjadi gross split. Perubahan itu diharapkan dapat menggenjot investasi migas.

Pada skema gross split, perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara pemerintah dan kontraktor diperhitungkan di awal. Total bagi hasil sebelum pajak yang akan didapatkan oleh kontraktor merupakan hasil penjumlahan dari besaran bagi hasil dasar (base split), komponen pembagian sesuai kondisi lapangan (variable split), dan komponen yang nilainya terus berubah (progressive split).

Baca Juga: Adopsi gross split, kontrak WK Selat Panjang diteken

Sementara itu, pada skema cost recovery, sebelum hasil migas dibagi, produksi migas tersebut akan dikurangi terlebih dahulu dengan biaya-biaya yang dikeluarkan kontraktor selama produksi.

Jika biaya yang dibebankan tidak bisa dipulihkan semuanya dari pendapatan (setelah dikurangi First Tranche Petroleum (FTP)) di tahun berjalan, maka sisa biaya yang belum bisa dipulihkan tersebut (unrecovered cost) akan dibebankan ke tahun-tahun berikutnya (carry forward) sampai seluruh biaya bisa dipulihkan.

Terdapat empat prinsip yang mendasari skema gross split tersebut. Pertama, pendapatan pemerintah lebih pasti karena pemerintah menerima bagi hasil gross di awal. Kedua, lebih transparan. Penentuan persentase bagi hasil lebih pasti dalam karena menyesuaikan dengan karakter atau tingkat kompleksitas pengembangan lapangan.

Semua bentuk insentif tambahan untuk meningkatkan keekonomian proyek, diakomodasi melalui pemberian split tambahan (diskresi Menteri ESDM). Hasilnya, mekanisme pemberian insentif dan cara perhitungannya menjadi lebih sederhana.

Baca Juga: Kementerian ESDM akan terbitkan regulasi eksplorasi, ini tanggapan perusahaan mineral

Ketiga, dengan tidak adanya cost recovery, proses bisnis dalam pengusulan rencana pengembangan lapangan dan program kerja tahunan (pengeboran, kerja ulang, dan perawatan sumur, serta pemasangan fasilitas produksi) akan menjadi jauh lebih sederhana karena tidak perlu lagi ada diskusi dan verifikasi atau evaluasi biaya.

Terakhir, penerapan Kontrak Bagi Hasil Gross Split akan mendorong kontraktor migas dan industri pendukung menjadi lebih efisien dalam proses kerja. Pemerintah pun telah mengeluarkan regulasi yang mengatur penerapan skema tersebut, yaitu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (Permen ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang kemudian direvisi menjadi Permen ESDM no. 52 tahun 2017.

Sayangnya, meski skema itu sudah ada diterapkan sejak 2017 lalu, masih banyak beredar mitos atau konsepsi keliru tentang skema gross split. “Salah satu penyebabnya karena kebanyakan kontraktor tidak mau mempelajari gross split langsung dari pemerintah,” ucap Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar pada acara Gross Split Coaching di City Plaza, Jakarta, Selasa (30/4/2019).

Baca Juga: Pertamina Hulu Energi kejar target pengeboran

Lantas apa saja mitos atau konsepsi keliru yang beredar di kalangan kontraktor dan masyarakat?




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×