Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proses pembentukan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) terus bergulir. Terkini Komisi VII dan sejumlah Kementerian telah menentukan mekansime kerja pembahasan RUU EBET, pengesahan pembentukan panitia kerja (Panja) tim perumus, tim kecil dan tim sinkronisasi RUU EBET.
Namun beberapa poin di dalam draft Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU EBET masih banyak menuai pro kontra. Selain skema power wheeling, penetapan harga listrik dari Energi Baru menjadi sorotan ahli dan pelaku usaha.
Sebelum membahasnya lebih jauh, ada perbedaan mendasar antara Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Energi Baru ialah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru dan belum banyak dikonsumsi secara publik, contohnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Sedangkan Energi Terbarukan ialah sumber energi yang tersedia oleh alam dan bisa dimanfaatkan secara terus-menerus. Contoh Energi Terbarukan di antaranya pembangkit surya (PLTS), pembangkit air/hidro (PLTA), pembangkit angin (PLTB), dan lainnya.
Di dalam draft DIM RUU EBET yang diterima Kontan.co.id, harga listrik Energi Baru berpotensi dapat ditetapkan berdasarkan penugasan Pemerintah Pusat.
Baca Juga: Menteri ESDM: PLN Memiliki Kewajiban Menyediakan Energi Baru Terbarukan (EBT)
Hal ini tertuang dalam Bab IX tentang Harga Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Pada pasal 53 ayat (1) Harga Energi Baru ditetapkan berdasarkan beberapa pertimbangan.
Pertama, penetapan harga energi baru berdasarkan kesepakatan para pihak dengan mempertimbangkan nilai keekonomian dan tingkat pengembalian yang wajar bagi Badan Usaha.
Kedua, penetapan pemerintah pusat berupa harga patokan tertinggi dengan tetap menimbang sejumlah poin seperti nilai keekonomian yang adil dan tingkat pengembalian yang wajar bagi Badan Usaha penyedia tenaga listrik dan Badan Usaha milik swasta dan/atau perusahaan listrik milik negara sebagai pembeli.
Dalam hal penetapan harga pembelian Energi Baru jika mekanisme yang ditetapkan ayat (1) tidak tercapai, Pemerintah mengusulkan agar penetapan harga jual Energi Baru dilakukan berdasarkan penugasan Pemerintah Pusat. Pada DIM ini, Pemerintah menghapus ketentuan untuk penetapan harga melalui negosiasi para pihak.
Pemerintah menambahkan, penetapan harga jual Energi Baru ini mengacu pada harga keekonomian yang spesifik pada lokasi dan kapasitas yang akan dikembangkan sesuai dengan prosedur pengadaan yang berlaku.
Sedangkan DIM versi DPR RI lebih mengarahkan, penetapan harga pembelian Energi Baru bisa berdasarkan penugasan Pemerintah Pusat dengan harga yang ditetapkan melalui negosiasi para pihak, mengacu pada harga keekonomian yang spesifik pada lokasi dan kapasitas yang akan dikembangkan sesuai dengan prosedur pengadaan yang berlaku.
Baca Juga: Ini Penyebab Pengembangan EBT di Tanah Air Terkendala
Perubahan DIM yang diajukan Pemerintah juga berlaku pada pasal 54 yang membahas penetapan Harga Energi Terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyampaikan, gambaran peraturan dalam DIM RUU EBET sejatinya sudah mengutamakan aspek kompetisi karena mekanisme pertama berdasarkan kesepakatan para pihak.
Adapun tren harga Energi Terbarukan dalam beberapa tahun terakhir mengalami tren penurunan. Lewat mekansime ini pemerintah dan perusahaan listrik dapat menikmati manfaat dari dampak penurunan harga teknologi ini.
“Nantinya kalau harga tidak tercapai melalui negosiasi maka pemerintah akan menetapkan itu. Namun hal ini tidak terlalu relevan bagi Energi Terbarukan. Tetapi jika di sektor Energi Baru mungkin bisa,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (24/1).
Meski begitu, jika harga Energi Baru diberikan keistimewaan melalui penugasan Pemerintah Pusat, Fabby menilai, hal ini dapat berdampak pada level playing of field yang tidak seimbang antara sektor Energi Baru dengan sektor Energi Terbarukan.
Dia mencontohkan, investasi untuk PLTN memakan biaya yang sangat besar. Tentu harga listrik juga akan mahal mengikuti biaya investasi pembangkit tersebut. Namun, jika tidak memenuhi kesepakatan antara pihak, maka harga listrik PLTN bisa diserahkan pada penugasan Pemerintah Pusat.
Baca Juga: Airlangga Hartarto: Oversupply Listrik Hingga 5 GW Jadi Kendala Pengembangan EBT
“Ini yang menurut saya harus berhati-hati. Jangan sampai itu dipakai untuk misalnya kesempatan PLTN yang tidak bisa bersaing harganya, menggunakan pasal itu lalu kemudian pemerintah menetapkan harga listrik yang lebih tinggi dan masyarakat memberikan subsidi lebih besar,” ujarnya.
Adapun jika peraturan ini diterapkan, akan berdampak pada tidak kompetitifnya harga listrik dari Energi Terbarukan.
Menurut Fabby idealnya harga listrik dari Energi Baru ditetapkan berdasarkan penawaran. Jika nanti diperlukan insentif tambahan, pemerintah dapat memberikannya melalui instrumen insentif. Jika harga Energi Baru ditetapkan oleh penugasan Pemerintah Pusat, sektor Energi Baru ibarat mendapatkan insentif ganda.
“Jadi Energi Baru yang investasinya mahal dan tidak terlalu diperlukan malah diprioritaskan. Justru akan menganggu pengembangan energi terbarukan yang sudah semakin murah dan kompetitif,” jelasnya.
Fabby yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menjelaskan, untuk mendukung pengembangan Energi Terbarukan, harga harus mencerminkan biaya keekonomian dan marjin yang wajar untuk pengembang sesuai dengan tingkat risikonya.
Dia mengusulkan agar pemerintah menambahkan klausul yang mendukung penetapan harga Energi Terbarukan berdasarkan penugasan Pemerintah Pusat khusus untuk daerah terpencil yang mengalami krisis energi.
Menurutnya banyak pulau di Indonesia yang masyarakatnya tinggal terpisah-pisah dan penyediaan energi listrik butuh investasi yang mahal.
“Kasus begini yang kebijakan harga energinya harus diintervensi pemerintah. Kalau disuruh kompetitif tidak bisa juga karena economic of scale tidak terpenuhi,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Maman Abdurrahman menegaskan bahwa saat ini RUU EBET baru terbentuk DIM.
“DIM dari pemerintah nanti akan dibahas di dalam pembahasan dengan Komisi VII,” ujarnya saat dihubungi terpisah.
Baca Juga: Menteri ESDM Minta Pengembangan Mineral Kritis Diprioritaskan untuk Percepatan EBT
Maman menyatakan, pihaknya akan mendorong RUU EBET bisa betul-betul memberikan kemanfaatan untuk masyarakat luas dan berkeadilan.
Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PKS, Mulyanto menyatakan, secara umum ada tiga bentuk pendekatan penentuan tarif. Bila mekanisme negosiasi gagal, baru Pemerintah Pusat menetapkan tarif penugasan.
“Menurut yang saya pahami, selisih tarif dengan harga keekonomiannya menjadi besaran kompensasi pemerintah kepada PLN. Pastinya nanti akan ada pembahasan,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News