kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45901,12   2,37   0.26%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Agar Tak Ada Ekspor Listrik ke PLN, PLTS Atap Bisa Dibatasi Berdasarkan Beban Minimum


Senin, 24 Oktober 2022 / 14:44 WIB
Agar Tak Ada Ekspor Listrik ke PLN, PLTS Atap Bisa Dibatasi Berdasarkan Beban Minimum
ILUSTRASI. Kapasitas PLTS Atap yang diizinkan untuk dipasang setara dengan minimum load atau beban minimum. KONTAN/Baihaki/4/7/2022


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saat ini pemerintah melalui Kementerian ESDM sedang menyusun Keputusan Menteri (Kepmen) sebagai peraturan petunjuk teknis pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM tentang PLTS Atap Nomor 26 Tahun 2021. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) melihat ada kemungkinan kebijakan yang diatur dalam Kepmen tersebut adalah pembatasan pemasangan PLTS Atap berdasarkan perhitungan minimum load atau beban minimum pihak yang ingin memasang. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan, perdebatan yang terjadi sampai hari ini bukan hanya persoalan overcapacity listrik saja, tetapi ada dua hal yang diinginkan PLN. 

Baca Juga: Komisi VII DPR: Idealnya PLTS Atap Tidak Ada Pembatasan Pemasangan

Pertama, PLN ingin agar tidak ada ekspor listrik ke jaringan mereka lantaran pasokan listrik akan terus bertambah di tengah kondisinya yang oversupply. 

Kedua, dari sisi teknis yang dipertimbangkan PLN adalah kemampuan gardu menerima listrik dari PLTS Atap karena mempertimbangkan dan memastikan keandalan service PLN. 

“Jadi kalau dengan opsi itu memang yang setahu saya disepakati dengan Kementerian ESDM adalah kapasitas PLTS Atap yang diizinkan untuk  dipasang setara dengan minimum load atau beban minimum. Dengan begini maka tidak ada ekspor listrik ke jaringan PLN,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (24/10). 

Beban minimum adalah arus atau daya minimum yang harus ditarik dari suatu catu daya yang mengacu pada jumlah beban listrik yang diperlukan. Adapun setiap pelanggan memiliki beban minimum masing-masing. 

Menurut Fabby, pembatasan maksimum 15% dari kapasitas listrik terpasang yang dilakukan PLN saat ini hanya mengambil rata-rata saja sehingga dinilai tidak ada perhitungan teknis. 

“Ini perhitungan hipotesis kalau masuk 3 GW ke sistem Jawa-Bali kemudian dihitunglah pada masing-masing sistem itu berapa. Itu yang kita tidak setuju,” kata Fabby. 

Jika dalam Kepmen nanti diperjelas perhitungan maksimum pemasangan berdasarkan beban minimum, maka setiap wilayah PLN punya dasar yang sama. 

Hanya saja, Fabby berpesan kebijakan pembatasan tersebut jangan diberlakukan untuk rumah tangga dengan daya 2.000 KVA hingga 2.200 KVA karena penggunaan listrik di siang hari cenderung kecil. 

Baca Juga: Pasokan Listrik PLN Berlebih dan Permintaan Melambat, Proyek PLTS Atap Terhambat

Kemudian, kebijakan pembatasan pemasangan PLTS Atap ini juga perlu mempertimbangkan bagi bangunan-bangunan baru atau industri baru yang mau langsung memasang PLTS Atap. Misalnya saja di Bali ada vila baru yang mau memasang PLTS Atap, tentu di sini belum ada histori pemakaiannya. 

“Ini yang perlu diskresi, rumah tangga dan bangunan serta industri industri baru jangan dikenakan pembatasan,” ujarnya. 

Fabby menerangkan, berdasarkan laporan International Energy Agency (IEA) jika Indonesia belum bisa mengatasi masalah kelebihan pasokan listrik maka target 23% di 2025 tidak akan tercapai. “Setidaknya sampai 2025 overcapacity harus diatasi,” terangnya. 

Menurut Fabby setidaknya ada 2.000 MW hingga 3.000 MW pembangkit batubara bisa diatasi dengan cara menunda lagi COD PLTU yang mau masuk di 2023-2024 atau melalui renegosisasi besaran capacity payment dan renegosiasi capacity factor yang akan diambil PLN. Dengan demikian bisa mengurangi potensi kelebihan pasokan listriknya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×