Reporter: Agung Hidayat | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani menilai maraknya merger dan akuisisi oleh korporasi yang terjadi saat ini ialah hal yang wajar. Sebab menurutnya, hal itu merupakan bagian dari aksi korporasi yang biasa terjadi.
Merujuk riset dari Duff & Phelps, nilai dari deal merger dan akuisisi bisnis di Indonesia mencapai US$ 4 miliar di semester I 2017, naik dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Shinta berujar bahwa ketika perusahaan yang relatif kecil ingin memperbesar ukuran bisnisnya, maka pilihan merger atau akuisisi adalah bagian dari strategi bisnis.
Riset Duff & Phelps menerangkan, dari 81 deal merger dan akuisisi, sektor teknologi mempunyai porsi 32%, disusul agribisnis 17% dan selanjutnya adalah sektor energi. Aksi korporasi terbesar ialah dari Go-Jek Indonesia yang menerima penanaman modal dari Tencent Holdings’ sebanyak US$ 1,2 miliar.
Shinta mengatakan, yang perlu diperhatikan ialah kondisi mikro ekonomi saat ini masih terpuruk. Sementara ekonomi makro cenderung terbalik, positif. Hal tersebut ditengarai memicu banyak aksi merger dan akuisisi saat ini.
"Walau pun tidak selalu menjadi patokan. Namun saat mikro turun biasanya merger dan akuisisi dapat terjadi," kata ," kata Shinta kepada KONTAN, Jumat (21/7).
Sebenarnya bukan hanya Indonesia saja yang mengalami fenomena ini, aksi merger dan akuisisi juga tengah marak di bisnis global.
"Yang paling penting harus hati-hati jika merger dan akuisisi ini menimbulkan monopoli, sebab kecenderungannya pemain di pasar semakin sedikit," tukasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News