Reporter: Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kebijakan pengelolaan lahan gambut menuai polemik. Beleid yang tertera dalam Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menimbulkan pro dan kontra.
Kalangan pengusaha dan petani kelapa sawit yang terkena dampak regulasi ini, mendesak pencabutan PP tersebut. Bahkan, pemerintah pun tidak satu suara.
Aturan ini akan berdampak langsung pada alih fungsi lahan perkebunan sawit seluas 1.02 juta hektare (ha) dan hutan tanaman industri (HTI) seluas 780.000 ha. Lahan tersebut harus mengalami perubahan fungsi dari lahan budidaya menjadi hutan lindung. Tentu saja ini akan berdampak besar bagi masyarakat dan industri di dalam negeri.
Itu sebabnya, Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsyad mendesak pemerintah mencabut aturan ini. Sebab para petani yang berada di daerah Riau akan menjadi pihak yang paling menderita bila aturan ini diterapkan. "Bahkan kami berencana mengajukan judicial review (pengujian) ke Mahkamah Agung bila aturan ini tidak dicabut," terangnya.
Sementara, Ketua Bidang Sosial dan Lingkungan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bambang Widyantoro mengatakan, aturan ini tidak memperhatikan keseimbangan aspek sosial dan ekonomi. Padahal, pemerintah perlu menjamin kelangsungan investasi.
Direktur Jenderal Agro Kementerian Perindustrian (Kemperin) menyayangkan PP tersebut, karena akan menggerus pengembangan industri kertas dan kelapa sawit di dalam negeri. Padahal, usaha tersebut merupakan industri strategis dan penyumbang devisa negara. Untuk industri kelapa sawit saja, tahun lalu kontribursi ekspornya mencapai US$ 19,6 miliar atau setara Rp 261 triliun. Setoran pajak dan PNBP mencapai Rp 79,5 triliun.
"Jika PP 57 tetap dipaksakan, maka pendapatan negara dari sektor sawit dan HTI akan terancam," ujar Panggah, Kamis (18/5).
Karena itu, Kemperin meminta agar pemegang izin HTI dan kebun sawit di lahan gambut tetap diperbolehkan melakukan aktivitas budidaya dengan syarat menerapkan teknologi terbaru tata kelola air gambut. Hal tersebut untuk menekan emisi karbon dan mengantisipasi kebakaran lahan. Untuk itu, Kemperin akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meninjau ulang beleid tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News