Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengharapkan payung hukum yang jelas pasca keluarnya keputusan terbaru dari Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Hal ini disampaikan APNI dalam agenda Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rabu (13/11).
Baca Juga: Pemerintah dan pengusaha sepakati harga jual nikel ore US$ 30 per metrik ton
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertambangan Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey bilang apa yang telah disampaikan oleh BKPM bukanlah sebuah kesepakatan. "Itu bukan kesepakatan, tapi statement lagi. Boleh nggak kita mengacu pada sesuatu yang tidak ada aturannya atau lembarannya?" tutur Meidy.
Asal tahu saja, BKPM menetapkan harga jual nikel ore ke smelter atau pabrik pengolahan dalam negeri sebesar US$ 30 per metrik ton.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan, penetapan harga jual nikel ore menyesuaikan harga internasional yang ditetapkan oleh China dengan dikurangi pajak dan biaya transshipment untuk kadar di bawah 1,7%. Hal tersebut berguna untuk menjaga harga jual nikel di tengah larangan ekspor nikel yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2020.
Bahlil menegaskan jika ada sentimen yang menyebabkan fluktuasi harga, pengusaha tidak boleh mematok harga di luar rentang harga nikel ore yang ditetapkan sampai dengan akhir Desember 2019.
Namun demikian, BKPM mengaku tidak ada payung hukum dalam menentukan kesepakatan harga jual nikel. Menurutnya, kesepakatan yang dibuat dan disetujui bersama-sama dengan pemangku kepentingan jauh lebih efektif ketimbang ketetapan yang sifatnya surat-menyurat.
Baca Juga: Soal harga patokan domestik nikel, pengusaha: Yang penting implementasinya
Tetapi, Bahlil tidak menuntut kemungkinan akan mengeluarkan Surat Ketetapan (SK) terkait perdagangan nikel.
Bahkan Meidy meragukan bijih nikel akan diserap oleh perusahaan smelter sesuai ketentuan yang ada.
"Pertemuan dengan BKPM yang kemarin katanya kami sepakat sebenarnya kami iya-iya saja, kami ragu mereka mau menyerap karena selama smelter berdiri, mereka tidak pernah menyerap kadar bijih nikel di bawah 1,8%," terang Meidy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News