kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45930,39   2,75   0.30%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APSyFI: Impor garmen membludak, utilisasi pabrik tekstil domestik hanya 55%


Kamis, 20 September 2018 / 09:35 WIB
APSyFI: Impor garmen membludak, utilisasi pabrik tekstil domestik hanya 55%
ILUSTRASI. Ravi Shankar, Ketua APSYFI


Reporter: Aulia Fitri Herdiana | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri serat dan benang masih terus memperjuangkan nasibnya agar bisa bertahan di tengah gempuran impor yang semakin mendesak.

Hal tersebut disampaikan oleh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI). "Banyaknya produk impor yang masuk, membuat industri dalam negeri kewalahan. Bahkan beberapa pabrik harus gulung tikar karena kesulitan bersaing," ucap Ravi Shankar, Ketua Umum APSyFI saat Jurnalist Workshop di Purwakarta.

Ravi menambahkan, hampir semua jenis serat dan benang mampu dipenuhi oleh industri dalam negeri kecuali kapas. Bahan dasar kapas masih belum dapat diproduksi di Indonesia sehingga membutuhkan impor dari China.

Sekretaris Jenderal APSyFI, Redma Gita Wirawasta menambahkan seharusnya persaingan dengan produk impor menjadi fair ketika suplai dalam negeri tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya atau industri dalam negeri tidak dapat memproduksi produk tersebut.

"Saat ini, jika kita bicara industri hilir atau pakaian jadi, kapasitas produksi dalam negeri mencapai 2,7 juta ton. Sementara kebutuhan garmen dalam negeri itu 2,4 juta ton termasuk 600.000 ton untuk ekspor," jelas Redma. Ia menambahkan, saat ini impor garmen mencapai 800.000 ton. Artinya, produksi dalam negeri yang terserap di pasar lokal hanya 1,6 juta ton. "Jadinya banyak kain yang nganggur," tukasnya.

Banyaknya jumlah kain yang tidak terserap tersebut menyebabkan tingkat utilisasi hanya mencapai 55%.

Pada tahun 2008 lalu, impor garmen diperbolehkan karena dianggap akan meningkatkan kapasitas ekspor industri lokal. Redma menjelaskan, pada tahun 2008, impor garmen hanya sebesar 300.000 ton sementara ekspor lebih besar, yakni 500.000 ton. "Nah saat ini, impor 800.000 ton, ekspornya cuma 600.000 ton, itu sisanya yang masuk ke pasar lokal," terangnya lagi.

Dalam data APSyFI, surplus neraca perdagangan TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) menyusut menjadi sekitar US$ 3 miliar- US$ 4 miliar. Padahal, pada tahun 2008-2009, TPT mampu surplus hingga USD 7-8 miliar.

Sejumlah langkah telah dilakukan APSyFI untuk memperjuangkan nasib industri dari hulu ke hilir. Diantaranya ialah mengajukan perlindungan anti dumping. "Beberapa kasus sudah kita bicarakan dengan KADI (Komite Anti Dumping Indonesia) dan sudah direkomendasikan, malah sudah ada yang direkomendasikan tim kepentingan nasional namun belum diimplementasikan," terang Redma.

Selanjutnya, APSyFI juga mengeluhkan Permendag No. 64 Tahun 2017. Menurut Redma, aturan ini menjadi salah satu pendorong impor melonjak. "Permendag sebelumnya, yaitu Permendag No. 85 tahun 2016, yang diperbolehkan impor hanya produsen. Trader gak boleh untuk kategori tertentu terutama kain," jelasnya. Namun dalam Permendag No. 64 Tahun 2017, trader diperbolehkan melakukan impor melalui PLB (Pusat Logistik Berikat).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet

[X]
×