Reporter: Muhammad Alief Andri | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku industri tekstil nasional buka suara jelang negosiasi tarif dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang bakal digelar pada 9 Juli 2025 mendatang. Mereka menyoroti perlunya strategi yang lebih komprehensif dari pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri di tengah ancaman tarif tinggi dari AS.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menilai posisi Indonesia dalam negosiasi kali ini sebenarnya cukup strategis. Apalagi pemerintah juga tengah mengupayakan peningkatan impor migas dari AS yang bisa membantu menekan defisit dagang antara kedua negara.
"Negosiasi ini sebetulnya sudah di jalur yang tepat karena bisa memotong defisit perdagangan AS. Tapi di sisi lain, AS tetap melihat kita terlalu banyak memfasilitasi impor dari China, terutama di sektor manufaktur. Ini yang jadi pertimbangan lain bagi AS," jelas Redma kepada Kontan, Jumat (4/7).
Baca Juga: Korea Selatan Bakal Minta Perpanjangan Pembekuan Tarif Impor kepada AS
Ia menegaskan, akar dari persoalan ini tak lepas dari konflik dagang AS dan China, yang kemudian berimbas pada penerapan tarif timbal balik (reciprocal tariff) ke negara mitra, termasuk Indonesia.
Redma mengungkapkan, sejatinya peluang mitigasi bisa diupayakan lewat pasar domestik. Hanya saja, langkah ini dinilainya masih penuh tanda tanya karena pemerintah belum cukup serius mengendalikan banjir produk impor, khususnya dari China.
"Larangan dan pembatasan (lartas) yang seharusnya jadi instrumen pengendalian impor, justru malah memperparah pasar lokal. Kuota impor yang dikeluarkan Kementerian Perindustrian terlalu besar tanpa memperhitungkan suplai dari dalam negeri. Pengajuan BMAD pun sering ditolak," ungkapnya.
Ia khawatir tanpa dukungan visi industri yang jelas dari pemerintah, upaya mitigasi terhadap dampak kebijakan tarif ini akan sulit terealisasi.
Meski begitu, Redma menyebut dampak kebijakan ini terhadap produk benang serat dan benang filament Indonesia relatif minim. Sebab, ekspor produk tersebut ke AS sudah turun signifikan pasca dikenakan BMAD sejak 2022 akibat kasus transhipment barang asal China pada 2021 lalu.
Baca Juga: Tarif Impor AS Bikin Waswas, Apindo Desak Pemerintah Beri Keringanan Industri Tekstil
Selanjutnya: IHSG Berbalik Melemah, Dihadang Ketidakpastian Potensi Tarif Baru Trump
Menarik Dibaca: Dorong Gaya Hidup Sehat Sekaligus Peduli Bumi di Avoskin Trail Run 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News