Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mempertanyakan kebijakan pemerintah yang terus membuka keran impor benang dan kain, meski industri tekstil dalam negeri tengah terpuruk.
Data BPS menunjukkan impor benang dan kain melonjak signifikan dalam delapan tahun terakhir.
Pada 2016, impor benang hanya 230 ribu ton dan kain 724 ribu ton, namun pada 2024 jumlahnya hampir dua kali lipat masing-masing menjadi 462 ribu ton dan 939 ribu ton.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menilai lonjakan impor justru mempercepat deindustrialisasi sekaligus memperburuk kondisi tenaga kerja di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT).
Ia menjelaskan, sejak 2021 seluruh impor benang dan kain wajib melalui Persetujuan Impor (PI) Kementerian Perdagangan berdasarkan kuota impor yang ditetapkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Baca Juga: APSyFI: Relokasi Produksi Global Bisa Jadi Momentum Industri Tekstil
“Kalau impornya naik, artinya kuota impor yang diberikan Kemenperin juga terus naik. Ini yang kami pertanyakan, kenapa Kemenperin memberi kuota tinggi sementara banyak industri TPT gulung tikar,” ujar Redma kepada Kontan, Jumat (22/8/2025).
Redma meminta aparat penegak hukum menyelidiki persoalan ini, mengingat berbagai usulan perlindungan industri mulai dari safeguard hingga Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) benang filamen ditolak oleh Kemenperin.
“Ini mengindikasikan adanya oknum pejabat yang ingin mempertahankan rezim kuota di tangannya,” tegasnya.
Kondisi tersebut berdampak serius terhadap tenaga kerja. APSyFI mencatat sekitar 250 ribu pekerja terkena PHK akibat penutupan 60 pabrik sepanjang 2023–2024.
Baca Juga: API dan APSyFI: Tata Kelola Ekspor Impor Indonesia Perlu Diperbaiki
Sementara Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) melaporkan tambahan 400 ribu pekerja kehilangan pekerjaan hingga Agustus 2025, mayoritas di sektor TPT dan alas kaki.
Menurut Redma, tren ini masih akan berlanjut meski tidak sebesar periode sebelumnya.
Ia juga menilai Kemenperin seharusnya bertanggung jawab atas banyaknya investasi lama yang mati, bukan sekadar membanggakan investasi baru yang belum terealisasi.
Lebih lanjut, Redma mengkritisi metode perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pertumbuhan industri TPT sebesar 4,35% YoY pada kuartal II-2025.
“Selama investasi mati tidak diperhitungkan sebagai pengurang, maka pertumbuhan industri akan selalu terlihat positif di atas kertas, padahal faktanya banyak pabrik tutup,” jelasnya.
Baca Juga: Tarif Impor AS Turun Jadi 19%, APsyFI Optimistis Produk Tekstil Bisa Bersaing
Kontribusi sektor TPT terhadap PDB terus menurun dari 1,16% pada 2016 menjadi 0,99% di 2024.
Neraca perdagangan TPT juga merosot dari surplus US$ 3,6 miliar pada 2016 menjadi hanya US$ 2,4 miliar tahun lalu.
Senada, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, Agus Riyanto, menuding lonjakan kuota impor sebagai biang keterpurukan industri.
Ia bahkan menyebut adanya dugaan penyelewengan dalam distribusi kuota.
“Sudah menjadi rahasia umum, kuota besar hanya diberikan kepada belasan perusahaan API-P yang dimiliki sekitar empat orang saja,” ungkap Agus.
KAHMI Rayon Tekstil mendesak pemerintah mengusut dugaan mafia kuota impor yang dinilai mempercepat deindustrialisasi dan memperburuk kondisi tenaga kerja di sektor TPT.
Baca Juga: Kadin Dorong Kemendag Evaluasi Rencana Kebijakan Bea Masuk Anti Dumping Benang
Selanjutnya: Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga The Fed Melemah
Menarik Dibaca: Begini Cara Mulai Bisnis Dropship Tanpa Modal untuk Pemula, Mau Coba?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News