Reporter: Yudo Widiyanto | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Distribusi gula kristal rafinasi (GKR) yang semestinya hanya ditujukan kepada industri makanan dan minuman, ternyata sudah melenceng. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menemukan penyimpangan distribusi gula rafinasi selama Januari-Juni ini mencapai 200.000 ton. Gula-gula tersebut dijual dan beredar di pasar konsumsi di berbagai daerah. APTRI menuduh pemerintah daerah juga terlibat atas terjadinya penyimpangan tersebut, yaitu karena memberi izin.
Wakil Sekjen Dewan Pimpinan Nasional APTRI, M Nur Khabsyin bilang, pihaknya mendapatkan data-data tersebut dari pasar dan toko-toko di berbagai daerah. Namun, jumlah tersebut paling banyak temuan APTRI di daerah Sulawesi Utara, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). "Kami menghitung langsung temuan di lapangan," katanya, Jumat (1/7).
Berdasarkan temuan tersebut, Khabsyin menyatakan telah terjadi pelanggaran dan penyimpangan distribusi gula rafinasi yang berdasarkan ketentuan peraturan menteri perdagangan (Permendag) no.111 tahun 2009 mestinya hanya boleh dijual untuk industri makanan dan minuman. "Aturannya jelas melarang," tandasnya.
Khabsyin menuturkan kebocoran itu terjadi karena pemerintah tidak bisa tegas dalam membuat kebijakan. Ini karena pemerintah tidak punya data yang valid mengenai produksi dan permintaan dari industri gula rafinasi di dalam negeri. "Padahal kebocoran ini bisa merusak harga jual gula petani dan penyerapan gula lokal yang tidak optimal," ungkapnya.
Faktor lainnya adalah kebijakan pemerintah yang tumpang tindih. Khabsyin menuturkan para penjual gula rafinasi di tingkat eceran mengaku mendapatkan restu dari pemerintah daerah (Pemda) untuk menjual gula rafinasi. "Ada izin dari Pemda, ini membingungkan," sergahnya.
Tidak mustahil, gara-gara pemerintah tidak punya data, kuota impornya juga tidak benar. Contohnya, PT Makassar Tene, produsen gula rafinasi di Sulawesi yang diizinkan mengimpor raw sugar sebanyak 300.000 ton per tahun, padahal total kebutuhan gula rafinasi di Sulawesi hanya 125.000 ton per tahun. "Ini yang rawan penyimpangan," ungkapnya.
Selain itu, Khabsyin mendesak pemerintah melakukan audit kepada produsen gula rafinasi dan distribusi mereka. Dengan audit tersebut, pemerintah akan tahu apakah rantai distribusi dari pabrik gula rafinasi itu tepat sasaran. Hasil audit tersebut yang kemudian menjadi dasar izin impor raw sugar.
Impor raw sugar naik
Berdasarkan data Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Izin impor raw sugar tahun 2011 sebanyak 2,39 juta ton. Angka ini naik tipis dibandingkan tahun 2010 lalu yang sebesar 2,35 juta ton. Impor raw sugar tersebut untuk produksi gula rafinasi oleh delapan produsen gula rafinasi di tanah air. Kapasitas pabrik gula rafinasi saat ini diperkirakan mencapai sekitar 2,3 juta ton.
Sekretaris Jenderal AGRI Suryo Alam menuturkan pemerintah semestinya memperketat pengawasan dan penindakan distribusi gula rafinasi di lapangan. Jika para produsen gula rafinasi terlibat, semestinya diberikan sanksi yang tegas. "Namun ulah satu perusahaan bukan berarti mewakili para produsen," ungkapnya.
Direktur Makanan dan Minuman, Ditjen Industri Agro Kementerian perindustrian Faiz Achmad bilang tahun ini pihaknya sedang mendata kebutuhan gula rafinasi dengan prioritas kebutuhan industri rumahan. "Industri rumahan lebih sulit karena sebagian memakai gula rafinasi dan sebagian pakai gula kristal putih," ungkapnya.
Namun Faiz membantah tuduhan bahwa pemerintah tidak punya data yang valid permintaan gula rafinasi. Faiz mengklaim telah bekerjasama dengan Surveyor dan Sucofindo tahun 2007 hingga 2009 untuk mendata permintaan gula rafinasi. Ia mengatakan permintaan gula rafinasi industri besar menengah sebesar 1,5 juta ton pe rtahun sedangkan industri rumahan mencapai 600.000 hingga 650.000 ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News