Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) memprotes Kementerian Perdagangan yang berniat mengimpor 500.000 ton gula pada 2012. Asosiasi itu menilai alasan penurunan produksi gula tahun ini yang dijadikan dasar rencana impor itu disebut tidak tepat.
Wakil Sekjen APTRI M. Nur Khabsyin menilai, alasan yang digunakan untuk mengimpor itu tidak tepat karena pemerintah tidak menghitung jumlah gula selundupan dan rembesan gula rafinasi yang dijual di pasar konsumsi.
Kebutuhan gula konsumsi pada 2011 tercatat sebesar 2,7 juta ton. Hal tersebut dipenuhi dari produksi gula dalam negeri dan pengolahan gula mentah untuk kapasitas menganggur pabrik gula. Realisasi produksi gula pada 2011 sebesar 2,150 juta ton ditambah izin impor gula mentah sebesar 225.000 ton. Totalnya, pasar domestik mendapat pasokan 2,375 juta ton.
Namun, jumlah itu pun masih mendapat tambahan dari rembesan gula rafinasi sebesar 400.000 ton per tahun dan bekas gula selundupan dari empat pintu perbatasan yaitu Entikong Kalimantan Barat, Nunukan Kalimantan Timur, Kep. Riau, dan Aceh sekitar 720.000 ton. Dengan demikian, total pasokan gula dalam negeri mencapai 3,495 juta ton pada 2011. "Dengan stok gula yang melimpah apakah masih perlu impor," katanya, Senin (28/11).
Rencana impor gula itu, menurutnya, secara psikologis akan berdampak pada penurunan harga gula tani. Apalagi, para petani baru saja menyelesaikan musim giling tebu.
Produksi gula musim giling 2011 memang hanya 2,150 juta ton. Angka itu jauh lebih rendah ketimbang produksi tahun lalu sebesar 2,3 juta ton. Bahkan, produksi gula dalam negeri pun jauh lebih rendah ketimbang target pemerintah sebesar 2,5 juta ton. Namun, pemerintah beralasan rendahnya produksi gula itu disebabkan anomali iklim.
Menurutnya, hal itu tidak sepenuhnya benar. Penurunan produksi tebu memang terjadi sekitar 20%-30% per hektar. Di sisi lain, rendemen naik dengan porsi tidak signifikan dengan rata-rata tahun ini sekitar 7,3%. Porsi itu naik dari rata-rata rendemen tahun lalu sebesar 6,5%.
Masalahnya, perluasan lahan tebu yang disebut pemerintah seluas 600.000 hektare itu disebutnya tidak terbukti. Sebab, seandainya terjadi perluasan lahan minimal 100.000 hektare saja maka akan ada tambahan produksi gula 500.000 ton. "Saya melihat pemerintah panik sehingga tidak berpikir jernih," ucapnya.
Alasannya, lanjutnya, stok gula melimpah dan pasar gula domestik tengah lesu. Hal tersebut terbukti dari harga gula petani masih tetap Rp 8.500 per kilogram (kg) yang tidak beranjak naik. Padahal, harga gula dunia saat ini mencapai US$ 640-US$ 660 per ton.
"Seharusnya pemerintah memasukkan juga gula ilegal itu dalam neraca gula sehingga dalam menghitung stok dan kebutuhan gula menjadi akurat," tambahnya.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menuturkan, masih akan mendalami penghitungan kapasitas produksi dalam negeri berbanding kebutuhan konsumsi. "Kalau produksi dalam negeri di bawah konsumsi dalam negeri tentu kita harus impor kan. Apakah kita harus impor, semestinya tidak," tuturnya, saat dikonfirmasi terpisah.
Menurutnya, penetapan impor harus mengambil dasar komparasi antara jumlah konsumsi dan produksi. "Kalau ada yang bisa meyakinkan kita bahwa konsumsi adalah A dan produksi di atas A, kita tidak akan impor," ujarnya.
Nantinya, kementerian itu akan memastikan data dan informasi soal neraca gula itu akurat. Berdasarkan data itu, pemerintah akan mengambil kebijakan yang tepat untuk memenuhi kepentingan nasional.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi sebelumnya sempat menyebut, produksi gula dalam negeri diperkirakan 2,3 juta ton-2,4 juta ton. Angka itu menjadi patokan bahwa tahun depan pasar domestik masih kekurangan sekitar 300.000 ton-500.000 ton gula.
Pemerintah pun masih menghitung angka impor dan perkiraan sumber pemenuhan kebutuhan itu. Hal itu untuk menjaga agar impor tidak memberikan disinsentif untuk musim giling berikutnya. "Ini tidak sederhana. Mudah-mudahan dalam waktu dekat bisa ambil keputusan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News