Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) mengungkap alasan utama Indonesia saat ini menjadi negara tujuan utama untuk China mengekspor keramik mereka.
Edy Suyanto, Ketua ASAKI mengatakan alasan pertama adalah karena Indonesia belum menerapkan peraturan anti dumping terhadap barang-barang, khususnya keramik dari Tiongkok ini.
“Dari sisi desain, kualitas, kemampuan produksi, sumber daya kita mampu memenuhi kebutuhan dalam maupun luar namun kita terlambat dalam penerapan anti dumping,” ungkap Edy kepada Kontan saat ditemui di acara Press Conference Megabuild Indonesia & Keramika Indonesia 2024 di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (02/05).
Meski begitu, dirinya mengatakan anggota ASAKI tetap optimis agar peraturan anti dumping bisa secepatnya terlaksana. Terutama setelah penyelidikan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang diwakili oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) selesai.
Baca Juga: Pemerintah Happy Manufaktur Tetap Ekspansi di Tengah Gejolak Geopolitik Global
“Cuma memang kita agak sedikit terlambat mengatasi dumping ini, tapi dari kami pengusaha tidak ada kata terlambat, kita selalu melihat peluang. Kami harap dukungan dari pemerintah terutama KADI, Kemendag untuk menyelesaikan penyelidikannya tepat waktu,” ungkapnya.
Alasan kedua masifnya keramik asal China di pasar Indonesia karena pemerintah mereka menerapkan sistem subsidi.
“Kedua, ada subsidi dari pemerintah Tiongkok. Mereka memberikan tax rebate atau tax refund sebesar 14%kepada setiap perusahaan keramik China yang melakukan ekspor ke Indonesia,” tambahnya.
Inilah yang membuat produsen keramik asal China berlomba-lomba mengirim keramik mereka ke pasar Indonesia. Belum lagi ditambah konsumsi keramik Indonesia yang cukup tinggi karena didukung oleh jumlah penduduknya.
“Ketiga, berkaitan dengan kualitas. Perlu diketahui, mereka ini melakukan penipisan dari ketebalan keramik, sebelum kami menerapkan safeguard, ketebalan keramik yang masuk dari Tiongkok itu di 9-10 milimeter, hari ini cuma 7 milimeter ketebalannya,” tambah Edy.
Dengan menekan atau memotong ketebalan, ia mengatakan produsen China bisa me-loading atau memasukkan dari sisi jumlah keramik lebih banyak ke dalam satu kontainer sehingga mereka bisa lebih efisiensi dari ongkos angkut.
“Kemudian di dalam produksinya, dengan ketebalan yang lebih tipis, maka otomatis biaya produksinya lebih irit. Dari sisi raw material juga lebih sedikit, dan energi untuk pembakarannya (keramik) juga lebih sedikit,” ungkapnya.
Baca Juga: Semen Indonesia Rilis Daftar UKM yang Sukses Gantikan Sparepart Impor di Pabrik Semen
Dia juga mengingatkan bahwa produsen keramik China mayoritas tidak menggunakan LNG atau Liquefied Natural Gas yang dinilai lebih ramah lingkungan.
“Di China, mayoritas industri tidak menggunakan LNG. Di Indonesia, 100% kita pakai LNG. Yang mereka pakai itu tidak ramah lingkungan, karena mereka pakai batubara,” katanya.
Dengan upaya-upaya tersebut, Edy menambahkan bahwa masuknya keramik dari China tidak hanya merusak pasar keramik dalam negeri namun juga merugikan bagi para konsumen.
“Nah, yang menjadi korban adalah pembeli-pembeli atau konsumen akhir yang tidak tereduksi dengan baik, karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja yaitu harga yang dianggap lebih murah,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News