Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi pelaku usaha rokok yang tergabung dalam Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), dan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengapresiasi komitmen pemerintah untuk tidak merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Mereka mendukung arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk fokus program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wachjudi mengatakan, pemerintah lebih baik fokus pada penanganan Covid-19 di tanah air untuk pemulihan perekonomian nasional sekaligus juga untuk menjaga kesehatan dan keselamatan bangsa.
Menurutnya, inisiasi pemerintah dalam merevisi PP 109/2012 sangat disayangkan. Pasalnya, aturan yang sudah ada seharusnya diawasi penerapannya ketimbang harus dilakukan revisi sebelum implementasi. Ia menegaskan, aturan yang ada saat ini sudah cukup, tinggal implementasinya saja yang ditingkatkan. “Pemerintah harus memastikan penegakan peraturan di lapangan karena pada praktiknya belum sepenuhnya dijalankan. Evaluasi idealnya dilakukan ketika peraturan telah ditegakkan secara optimal,” terang Benny dalam keterangannya, Selasa (29/6).
Baca Juga: Ekonom: Investasi dan ekspor jadi motor penggerak ekonomi dalam jangka panjang
Benny juga mengingatkan, di tengah pandemi ini industri hasil tembakau (IHT) menjadi salah satu industri yang terdampak. Banyaknya tenaga kerja yang terancam kehilangan mata pencaharian hingga berkurangnya angka produksi rokok menyebabkan performa IHT terus terdegradasi. Hingga tahun lalu dikabarkan 63 ribu pekerja sektor IHT terpaksa kehilangan pekerjaan selama 10 tahun terakhir. “Karena itu sudah sepantasnya pemerintah lebih memperhatikan dan mendengarkan suara dan permintaan kalangan IHT,” pintanya.
Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mensinyalir, jika revisi PP 109/2012 terus didesakkan, akan menambah peluang rokok ilegal semakin marak dan sulit dikendalikan. “Jika rokok ilegal sampai tak terkendali, upaya pengendalian akan gagal, penerimaan negara pun akan sulit dicapai,” ungkapnya.
Merujuk data resmi GAPPRI, tahun lalu, akibat kenaikan tarif CHT dan Harga Jual Eceran (HJE) yang tinggi telah meningkatkan rokok ilegal sampai 4,8%. GAPPRI memperkirakan, rokok ilegal bisa mencapai angka 10-15% dari angka yang disampaikan pemerintah. “Dengan kenaikan tarif cukai tahun 2021 ditambah situasi ekonomi yang masih sulit, peredaran rokok ilegal berpotensi kembali naik,” ujarnya.
Karena itu, Henry berpesan agar pemerintah tidak merevisi PP 109/2012 karena akan mengganggu rantai pasokan industri yang berakibat kepada penyerapan bahan baku dari petani tembakau, petani cengkeh, tenaga kerja dan menurunkan sumber pendapatan pedagang pengecer yang sebagian besar adalah UMKM. “Dengan dilakukan revisi, akan membuat ekosistem di sepanjang mata rantai IHT terganggu,” imbuhnya.
Baca Juga: Bukan pembelian bahan baku, tetapi hal ini yang menjadi kendala Sritex (SRIL)
Sejumlah kementerian juga dengan tegas menolak revisi PP 109/2012. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Abdul Rochim menyatakan rencana revisi PP 109/2012 tidak tepat apabila dilakukan pada situasi pandemi karena akan semakin memperburuk kondisi Industri Hasil Tembakau (IHT).
Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator bidang Perekonomian Atong Soekirman menilai, pemerintah saat ini tengah fokus memulihkan ekonomi nasional dari dampak Pandemi Covid-19 ketimbang merevisi PP 109 Tahun 2012.