Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Galak di awal, letoi saat eksekusi. Begitulah gambaran niat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengawal proses pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) oleh perusahaan mineral. Lewat tiga bulan, program itu mulai kendur.
Tadinya, salah satu cara mengawal pembangunan smelter adalah mewajibkan perusahaan menyetor 5% dari total investasi smelter yang mereka akan bangun. Kewajiban itu awalnya bakal dimasukkan dalam revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 1/2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian di Dalam Negeri.
Namun belakangan, Kementerian ESDM justru membatalkan memasukkan klausul kewajiban setoran 5% jaminan kesungguhan dalam revisi Permen ESDM No 1/2014 itu. "Sebenarnya, tidak melalui revisi permen juga tidak apa-apa," ungkap Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Selasa (25/3).
Menurut Sukhyar, sifat setoran jaminan kesungguhan bagi setiap perusahaan yang berencana menggelar ekspor konsentrat tidak harus 5% dari total investasi. Melainkan, akan disesuaikan dengan hasil progres pembangunan smelter masing-masing.
Sukhyar bilang, kewajiban menyetor deposit tersebut hanya akan diatur lewat surat edaran Direktur Jenderal Mineral dan Batubara. "Tidak perlu pakai revisi permen ESDM, lewat saya saja sudah cukup itu," imbuhnya.
Dede Ida Suhendra, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM bilang, jaminan kesungguhan sebesar 5% itu sejatinya akan dikaitkan dengan besaran tarif pungutan bea keluar yang telah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan melalui PMK No. 6/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Tarif bea ekspor pada 2014 ini yaitu, 25% dari harga patokan ekspor (HPE) untuk konsentrat tembaga, serta 20% untuk konsentrat besi, mangan, timbal, dan seng.
Makanya, kata Dede, Kementerian ESDM berharap setoran jaminan kesungguhan bisa menjadi pertimbangan Kementerian Keuangan untuk memberikan dispensasi penurunan tarif bea keluar ekspor mineral. Pilihan lain adalah merevisi PMK No 6/2014.
Menurut Dede, kasihan perusahaan tambang yang sampai sekarang belum ada pemasukan dari produksi tambang. "Sebab, bea keluar tinggi, tapi kami kan tak bisa intervensi Kementerian Keuangan untuk menurunkan bea keluar. Kami hanya memberikan beberapa alasan kesiapan pengusaha," ujar Dede.
Produksi turun 50%
Dia menambahkan, hingga saat ini ada sekitar 10 perusahaan tambang yang mengajukan permohonan rekomendasi ekspor konsentrat. Di antaranya, PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Lumbung Mineral Sentosa, PT Sumber Suryadaya Prima, dan PT Sebuku Iron Lateritic Ores. Seluruhnya belum memperoleh rekomendasi untuk mendapatkan sertifikat eksportir terdaftar (ET).
Daisy Primayanti, Jurubicara Freeport Indonesia mengatakan, pasca larangan ekspor 12 Januari 2014, Freeport hanya bisa memproduksi 112.000 ton bijih per hari, atau turun 50% dibandingkan dengan realisasi produksi tahun lalu. Untuk itu, perusahaan tersebut hanya bisa menyesuaikan produksi dengan daya serap PT Smelting Gresik, selama belum diperbolehkan kegiatan ekspor.
Untuk menemukan jalan tengah, sekarang ini, Freeport masih melakukan dialog dengan pemerintah agar Freeport bisa kembali melakukan ekspor konsentrat kembali. "Kami telah menerapkan kebijakan jangka pendek operasional untuk mengoordinasikan produksi konsentrat dengan operasional PT Smelting Gresik," ujar Daisy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News