Reporter: Dimas Andi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No 11 Tahun 2020 yang mengatur tata niaga penjualan nikel domestik. Beleid ini pun mendapat tanggapan dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Sekretaris Jenderal APNI Meidy Katrin Lengkey menyampaikan, hal-hal yang tertera di dalam Permen ESDM No 11 Tahun 2020 sudah sesuai dengan rumusan dan kesepakatan antara penambang nikel, pemilik smelter pengolahan nikel, dan pemerintah. “Kami sudah beberapa kali rapat di Ditjen Minerba Kementerian ESDM untuk membahas rumusan penetapan Harga Patokan Mineral (HPM),” kata dia, Jumat (24/4).
Baca Juga: Tuntaskan elektrifikasi di daerah terpencil, Kementerian ESDM lakukan tiga pendekatan
Dalam beleid tersebut, produsen bijih nikel yang memiliki IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam harus mengacu pada HPM Logam ketika menjual komoditas tersebut. Kewajiban untuk mengacu pada HPM Logam juga berlaku untuk penjualan bijih nikel yang diproduksi kepada afiliasinya.
HPM Logam sendiri merupakan harga batas bawah dalam penghitungan kewajiban pembayaran iuran produksi bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi Mineral Logam.
Selain itu, HPM Logam juga menjadi acuan harga penjualan bagi pemegang IUP/IUPK Operasi Produksi Mineral Logam yang menjual bijih nikel yang dihitung berdasarkan formula HPM sekaligus mengacu pada Harga Mineral Acuan (HMA) yang diterbitkan Kementerian ESDM di tiap bulan.
Permen ESDM ini juga menjelaskan bahwa ada perbedaan periode kutipan Harga Mineral Logam Acuan pada penghitungan HPM Logam dengan periode kutipan transaksi, pinalti atas mineral pengotor (impurities), atau mineral tertentu untuk penjualan bijih nikel.
Baca Juga: Ini alasan Kementerian ESDM terbitkan regulasi tataniaga nikel domestik
Apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM Logam pada periode kutipan sesuai Harga Mineral Logam Acuan atau terdapat pinalti atas mineral pengotor, maka penjualan dapat dilakukan di bawah HPM Logam dengan selisih paling tinggi 3%.
Di sisi lain, jika harga transaksi lebih tinggi dari HPM Logam pada periode kutipan sesuai Harga Mineral Logam Acuan atau terdapat bonus atas mineral tertentu, maka penjualan wajib mengikuti harga transaksi di atas HPM Logam. Meidy berpendapat, penetapan formula penjualan nikel di bawah HPM Logam dengan selisih maksimal 3% dengan beberapa ketentuan sudah sangat wajar diberlakukan.
Kondisi yang sama berlaku pada aturan yang memungkinkan penambang nikel menjual produknya di atas HPM Logam. Hanya saja, berdasarkan pengalaman sejauh ini, penjualan nikel dengan harga transaksi di atas HPM Logam relatif sulit terjadi. “Transaski yang lebih tinggi dari HPM Logam kayaknya tidak pernah terjadi deh,” tutur dia.
Di luar itu, APNI menyatakan, keberadaan Permen ESDM No 11 Tahun 2020 dapat menghidupkan lagi bisnis para penambang nikel. Asosiasi juga mendukung penuh smelter-smelter pengolahan nikel yang ada. “Sekarang tinggal bagaimana pengawasan dalam pelaksanaan Permen ESDM ini dilakukan,” tandas Meidy.
Baca Juga: BPH Migas: Pengembangan infrastruktur demi dongkrak pemanfaatan gas bumi
Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 diundangkan pada 14 April 2020. Kementerian ESDM menyatakan bahwa segala ketentuan dan peraturan yang tertuang di dalam beleid ini mulai berlaku 30 hari sejak diundangkan.
Dalam keterangan tertulis, Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi menyebut, lewat Permen tersebut, pemerintah ingin mendorong tumbuhnya pasar nikel domestik serta memastikan penjualan bijih nikel bisa sesuai dengan harga pasar, sehingga pemilik IUP Operasi Produksi khususnya nikel akan terlindungi harga jualnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News