kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Awas, pengembang nakal masih berkeliaran


Kamis, 14 Oktober 2010 / 17:54 WIB
Awas, pengembang nakal masih berkeliaran
ILUSTRASI. Modal Ventura


Reporter: Gloria Haraito |

JAKARTA. Para pengembang nakal masih marak. Di Depok, warga perumahan Griya Pendowo Indah (GPI) baru saja ditinggal pengembang beserta utang. Perumahan yang berlokasi di Kelurahan Grogol Kecamatan Limo RT 06 RW 05 ini dikembangkan oleh PT Megasarana Asrinusa Persada. Di sini terdapat 120 unit rumah dan tujuh unit ruko.

Dari 98 unit rumah yang sudah selesai, sebanyak 78 unit rumah sudah ditempati oleh pembeli. Namun, sebanyak 69 unit rumah bermasalah di mana 50 unit rumah berstatus kepemilikan ganda dan sisanya berstatus tidak jelas. Rumah ini dijual seharga Rp 135 juta sampai Rp 400 juta per unit.

Kedok Megasarana terkuak ketika pertengahan tahun 2008 PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) cabang Harmoni mengeluarkan surat tagihan tunggakan pembayaran cicilan KPR dan membagi-bagikan kepada semua warga GPI. Padahal, salah satu warga, Riswan Lapagu mengatakan, hanya sebagian kecil warga membeli melalui BTN. Sebagian besar membeli dan menyicil ke pengembang.

"Pada surat tagihan itu tercantum tunggakan tiap kavling dan ternyata nama pemilik bukan atas nama kami, ujar Riswan kepada KONTAN, Rabu (13/10). Artinya, ada kepemilikan ganda atas satu rumah yang sama. Padahal, dalam perjanjian pengikatan jual beli terdapat satu pasal yang menegaskan bahwa pengembang menjamin tanah dan bangunan tidak tersangkut sengketa dan belum dijual kepada pihak lain. Setiap kepala keluarga ditaksir merugi Rp 100 juta lebih akibat kasus ini.

Riswan mengakui, waktu pertama kali ingin menyicil dengan fasilitas kredit pemilikan rumah (KPR) BTN, pengembang justru mengarahkan konsumen untuk menyicil langsung ke pengembang. Masalah selanjutnya menimpa konsumen yang membeli tunai. Konsumen ini justru belum memperoleh akta jual beli (AJB) dan sertifikat hak milik (SHM).

"Ada pula konsumen yang terpaksa ngontrak karena rumahnya belum dibangun oleh pengembang," lanjut Riswan. Belum selesai masalah legalitas jual-beli, pengembang memunculkan nama perusahaan baru yakni PT Bendi Oetama Raya Delapan tanpa penjelasan apapun. Riswan menerangkan, baik Megasarana maupun Bendi tidak terdaftar dalam anggota Real Estate Indonesia (REI).

Akhir September lalu, masalah tambah rumit dengan Bendi mengumumkan pailit di koran nasional. Riswan mengatakan, aktor penting yang dicari warga saat ini adalah bapak-anak Galih Hasyim Soelistyo dan Geryno Soelistyo, bos Megasarana.

Menuntut pengembang

Warga GPI menuntut pertanggung jawaban Galih dan Geryno untuk membuat AJB dan SHM terutama untuk warga yang membeli secara tunai. Warga juga menuntut pengembang bertanggung jawab atas konsekuensi hukum dan biaya yang timbul dari proses perubahan dokumen jual beli atas rumah berstatus kepemilikan ganda. Lalu, warga mendesak pengembang menyelesaikan pembangunan rumah yang terbengkalai dan segera melakukan serah terima kepada pembeli yang menyicil ke pengembang.

Permintaan tersebut sudah tertuang dalam perjanjian tertulis yang diteken Mei silam oleh Galih dan warga. Sebagai saksi, hadir pula penasehat hukum pengembang dan Kapolsek Limo, Cinere. "Namun sampai sekarang belum satu pun isi perjanjian yang terealisir," kata Riswan. Setiap hari warga menagih sesuai tanggal jatuh tempo yang telah disepakati, namun pengembang selalu mengajukan alasan tidak logis dan terkesan menghindar.

Juni lalu, Galih dan Geryno menghilang. Kantor Megasarana dan Bendi ditemukan kosong. Rumah bapak-anak itu juga ditemukan kosong. Selain dicari oleh warga GPI, tgernyata Galih dan Geryno juga dicari oleh warga apartemen Intan dan Setiabudi sebab nasib mereka tak kalah tragis.

"Kasus pengembang nakal sudah sering terjadi namun mengapa belum ada upaya serius dari pihak pemilik otoritas untuk mencegah terulangknya aksi nakal mafia perumahan?" ujar Riswan. Untuk itu, warga GPI berharap Kementerian Perumahan Rakyat dan BTN ikut campur tangan dalam kasus ini.

Di samping warga GPI, warga Puri Permata Larangan Ciledug juga mengalami hal yang sama. Perumahan ini dikembangkan oleh PT Waluya Karya Sejahtera dengan bos yang disebut-sebut bernama Toto. Di sini terdapat 200 unit rumah dengan harga Rp 180 juta sampai Rp 250 juta per unit. Adinda Saraswati, salah satu warga mengatakan, banyak fasilitas yang belum dibangun seperti yang dijanjikan pengembang. Hal ini dikarenakan pengembang bangkrut.

Waluya sebetulnya menjual rumah via KPR BTN. Namun untuk yang membeli tunai, warga membeli langsung ke pengembang. Serupa dengan nasib warga GPI, konsumen yang membeli tunai ini pun belum mendapatkan AJB dan SHM karena ternyata Waluya belum menyetor duit ke BTN. Warga yang menyetor tunai ini sekitar 5% dari total warga.

"Kami kecewa karena baru 30% jalan yang dibangun," ujar Adinda. Selain itu, fasilitas umum seperti mushola dan beberapa rumah juga belum dibangun. Namun Waluya mengaku bangkrut lantaran ia juga kena tipu. Sejumlah duit penjualan perumahan Puri Permata digunakan untuk membeli tanah di Bogor. Tak disangka, tanah tersebut masih dikuasai oleh Kopasus. Sementara penjual tanah tersebut raib.

Warga sudah berkali-kali menyantroni rumah Toto. Ketika dihampiri, ternyata banyak subkontraktor yang mendatangi kediaman Toto untuk minta pertanggungjawaban. Mengingat Toto pun tak bisa berbuat banyak, warga mengambil inisiatif untuk menghimpun duit down payment (DP) yang belum disetor ke Waluyo, untuk dihimpun. Dana ini kemudian digunakan untuk membangun fasilitas umum. Sayang hingga kini, Humas BTN, Dody Agoeng belum mau berkomentar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Distribution Planning (SCMDP) Supply Chain Management Principles (SCMP)

[X]
×