Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana meniadakan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja alias omnibus law.
UU sapu jagat itu mengubah kelembagaan di sektor hulu dari SKK Migas menjadi Badan Usaha Milik Negara Khusus (BUMK). Pergantian tersebut tertuang dalam penyisipan Pasal 4A dan Pasal 64A pada perubahan UU Nomor 22 Tahun 2001 alias UU Migas yang dipayungi oleh omnibus law.
Baca Juga: Omnibus law mudahkan UMKM dirikan PT, seberapa efektif?
Lalu, bagaimana dengan sektor hilir? apakah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) senasib dengan SKK Migas yang tergusur, atau masih bertahan?
Mengenai hal ini, menurut pengamat energi Universitas Tarumanegara yang juga menjadi anggota tim perumus Omnibus Law, Ahmad Redi, nasib BPH Migas masih berlanjut. Ia bilang, eksistensi kelembagaan BPH Migas di hilir berbeda dengan SKK Migas di hulu.
Rida mengatakan, perubahan SKK Migas menjadi BUMNK merupakan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU Migas. Redi mengungkapkan, kelembagaan usaha hulu migas tidak sejalan dengan putusan MK. Sebab, dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa kelembagaan hulu migas harus dilaksanakan oleh BUMN baik BUMN yang telah ada maupun BUMN Khusus.
Baca Juga: Penciutan wilayah eks lahan PKP2B dalam Omnibus Law masih dimungkinkan
"Sedangkan untuk BPH Migas tetap seperti yang ada di UU Migas saat ini. Dalam RUU cipta kerja kelembagaan BPH Migas tidak ubah. Tidak ada masalah di sektor hilir," kata Redi kepada Kontan.co.id, Jum'at (14/2).
Namun, ada perubahan dari sisi perizinan di sektor hilir, yakni dengan penyederhanaan jenis izin. "Dulu ada izin usaha pengolahan, izin usaha pengangkutan, izin usaha niaga, izin usaha penyimpanan. Izin-izin ini dipangkas jadi izin hilir," terang Redi.
Diwacanakan untuk Dilebur
Sebelumnya, kinerja dan eksistensi BPH Migas sempat dipertanyakan oleh sejumlah anggota Komisi VII DPR RI dalam Rapat Dengar Pendapat yang digelar Rabu (12/2). Pada kesempatan itu, Anggota Komisi VII Falah Amru menyoroti independensi BPH Migas. Sebagai lembaga yang ditunjuk oleh DPR RI, Falah menegaskan bahwa BPH Migas harus bersifat mandiri, tidak boleh bergantung kepada Kementerian ESDM.
Hal tersebut terlihat dari pelaksanaan tugas dan fungsi BPH Migas yang terkendala lantaran harus menunggu regulasi yang diterbitkan Kementerian ESDM. "Komite BPH Migas kita seleksi di sini (Komisi VII DPR RI), seharusnya bukan menjadi corong pemerintah. Jadi harusnya independen, tidak seolah berada di bawah ESDM," kata Falah.
Baca Juga: Lima poin ini dinilai perlu disoroti dalam pembuatan regulasi lingkungan hidup
Lebih jauh, Anggota Komisi VII Hari Purnomo meminta supaya tugas dan fungsi BPH Migas ditinjau ulang. Bahkan, Hari mempertanyakan eksistensi dari BPH Migas yang menurutnya duplikasi dari Direktorat Hilir yang berada di bawah Ditjen Migas Kementerian ESDM.
Untuk itu, Hari mengusulkan supaya BPH Migas bisa diperkuat. Jika tidak, Hari menyarankan agar BPH Migas dilebur ke dalam Ditjen Migas Kementerian ESDM. Opsi lainnya, kata Hari, BPH Migas juga bisa dilebur ke BUMN untuk melengkapi fungsi dari PT Pertamina (Persero).
"Kita perkuat (BPH Migas) kalau memang dibutuhkan. Kalau tidak, ya dilebur saja dengan Ditjen Migas. Sebab itu, eksistensi BPH Migas ini harus dikaji ulang. Ke depan juga bisa saja BPH Migas jadi BUMN yang mengurusi subsidi, kemudian Pertamina mengurusi komersial," ungkap Hari.
Mengenai hal ini, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi sependapat bahwa keberadaan BPH Migas tidak begitu signifikan. Menurutnya, tugas dan fungsi BPH Migas bisa dilebur ke dalam Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM.
Baca Juga: BPH Migas tak keberatan Perusahaan Gas Negara (PGAS) Diberi Tugas Pengelolaan WJD/WNT
Dengan begitu, Fahmy menilai pengaturan dan pengawasan di sektor hilir migas bisa lebih efisien. Apalagi, ketika dilebur, pemilihan BPH Migas tidak perlu lagi berada di DPR. "Fungsi pengawasan itu bisa dilebur ke Kementerian ESDM, jadi BPH Migas tidak begitu urgent. Pengelolaan dan pengawasan di hilir oleh pemerintah kan lebih efisien," kata Fahmy kepada Kontan.co.id, Jum'at (14/2).
Sementara menurut pengamat migas Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto, jika BPH Migas tetap ada, maka tugas dan fungsinya harus lebih jelas. Jika tidak, kata Pri, dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas, BPH Migas memang bisa saja dilebur dengan Ditjen Migas Kementerian ESDM.
"BPH Migas bisa saja dilebur, agar pengawasan menjadi lebih sederhana karena domain Ditjen Migas. Bisa juga tetap ada namun dengan rincian tugas yang lebih jelas," ungkap Pri.
Baca Juga: Harga gas US$ 6 per MMBTU berpotensi diperluas, begini respon FIPGB
Adapun, dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI pada Rabu (12/2), Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa memberikan pembelaan. Ia mengklaim, eksistensi BPH Migas masih diperlukan. Merunut ke belakang, jelas Fanshurullah, keberadaan BPH Migas dan BP Migas yang saat itu mengatur hulu migas, pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2013.
Namun, Fanshurullah bilang bahwa putusan MK hanya membubarkan BP Migas, sedangkan BPH Migas justru perlu dikuatkan. "BP Migas dibubarkan, tetapi BPH Migas justru dikuatkan. Itu hasil MK, supaya jangan a historis," sebutnya.
Fanshurullah pun menyebut, dalam draft revisi UU Migas yang sudah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) dan disahkan di parpurna, keberadaan BPH Migas masih dipertahankan. "Di draft itu (revisi UU Migas), sudah jelas masih ada BPH Migas. Tinggal kami tampung masukan-masukan tadi, dan akan kami coba menguatkan," tandas Fanshurullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News