Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia sudah komitmen menekan emisi karbon dalam Perjanjian Paris Tahun 2015, sayangnya bahan bakar minyak (BBM) ron rendah, seperti Premium, saat ini masih banyak dikonsumsi masyarakat.
BBM ron rendah seperti Premium, diketahui bahaya bagi lingkungan juga tak bagus bagi mesin kendaraan. Merusak lapisan ozon, juga kendaraan tak prima.
Karena itu, pemerintah perlu terus mendorong agar masyarakat menggunakan bahan bakar ramah lingkungan, dengan ron tinggi. Apalagi, standar EURO4 saat ini sudah menjadi acuan gas buang bagi kendaraan bermotor.
Iwa Garniwa, Guru Besar Universitas Indonesia yang juga Rektor IT PLN menyampaikan, penghapusan BBM ron rendah memang mendesak, namun harus tepat momentumnya.
Baca Juga: Langkah IPO Pertamina timbulkan kekhawatiran soal BBM satu harga
Nah, saat ini, di tengah tren masih terjadi penurunan harga minyak, dimana harga minyak dunia belum kembali ke titik tertinggi, kebijakan tersebut bisa diambil oleh pemerintah.
“Menurut saya sekarang inilah saatnya, tapi digantikan dengan nama, misalnya Premium Ramah Lingkungan dengan harga yang tidak berubah mengingat harga minyak dunia sedang turun. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk merubah konsumsi BBM nya pada BBM ramah lingkungan,” ujar Iwa dalam keterangan pers Rabu (29/7).
Iwa mengingatkan, dampak buruk Ron rendah selama ini diasumsikan tidak terlalu terlihat pada kendaraan dengan teknologi lama yang masih banyak di Indonesia, bahkan di Jakarta.
Namun pada lingkungan akan menambah polusi udara khususnya di perkotaan. Persoalan polusi kendaraan ini akan menjadi bom waktu di masa depan, sehingga perlu diambil kebijakan radikal.
Sementara itu, Permen LHK No. 20/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, yang mensyaratkan standar emisi EURO4, bisa saja diterapkan namun tidak di semua daerah kota mengingat ada persoalan daya beli berbeda.
Ada daerah memiliki daya beli tinggi ada rendah, juga intensitas masing-masing wilayah berbeda untuk penggunaan bahan bakar. Sehingga, kalaupun diterapkan kebijakan ron tinggi, tetap diperlukan klasterisasi daerah, terutama di kota-kota besar.
“Kita tahu di Indonesia lebih dari 400 kota/kabupaten yang sangat beragam kondisi transportasinya,” ujar Iwa.