Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dalam kunjungan ke Korea Selatan, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyarankan kepada perusahaan asal Korea Selatan, LG International agar dapat memanfaatkan penggunaan gas di Teluk Bintuni, Papua Barat dan Blok Masela, Maluku. Hal ini lantaran LG International dan PT Duta Firza telah sepakat untuk mendirikan industri petrokimia di Indonesia dengan menyerap gas sebagai bahan baku.
“Pemerintah Indonesia membuka diri terhadap permintaan dari para investor. Untuk itu, melalui business meeting ini, kami berharap ada investasi dari Korea Selatan di industri strategis seperti sektor petrokimia,” kata Menperin ketika menyampaikan hasil pertemuannya dengan CEO LG International Song Chi Ho, Selasa (4/7).
Airlangga menjelaskan, pabrik petrokimia yang bakal dibangun oleh LG International memiliki nilai investasi sebesar US$ 1,3 miliar dan ditargetkan memproduksi methanol sebanyak 1 juta ton per tahun. “Proyek mereka akan membutuhkan natural gas mencapai 90 mmscfd dengan ekspektasi harga USD 1 per mmbtu. Saat ini, LG masih melakukan feasibility study di Bintuni,” ungkapnya.
Kementerian Perindustrian mencatat, potensi pembangunan industri petrokimia di Bintuni karena terdapat dua cadangan gas yang dioperasikan oleh dua perusahaan, BP Tangguh sebesar 23,8 trillion standard cubic feet (TSCF) dan Genting Oil Kasuri Pte, Ltd sebesar 1,7 TSCF. Area ini berpotensi dikembangkan untuk pabrik petrokimia yang memproduksi komoditas gas alam dalam dua fase.
Pertama, sebesar 257 mmscfd yang dipasok dari BP Tangguh dan Genting Oil Kasuri Pte, Ltd. dengan target beroperasi pada tahun 2021 untuk menghasilkan methanol, ethylene, propylene, polyethylene, dan polypropylene.
Fase kedua sebesar 90 mmscfd tahun 2026 dari BP tangguh untuk pabrik ammonia. Adapun, beberapa investor yang telah menyatakan minat untuk membangun industri petrokimia di Bintuni, antara lain Ferrostaal, Asahi Kasei Chemicals, LG, Mitsui, dan Sojitz.
“Untuk di Masela, pemerintah bersama dengan operator saat ini masih menghitung cadangan gas yang feasible dan alokasi gas alam di blok ini. Untuk produksi LNG dan cadangan untuk industri kimia dibuatkan skema gas pipa,” paparnya.
Terdapat empat area yang akan dikembangkan sebagai on-shore yang terdiri dari wilayah Maluku barat daya dengan perkiraan jarak 220 km, Maluku selatan dengan perkiraan jarak 180 km, Kepulauan Aru yang berjarak 600 km, dan Maluku tenggara yang juga berjarak 600 km.
Beberapa perusahaan yang sudah minat dan menunggu penghitungan untuk dapat mendirikan pabrik petrokimia, antara lain PT. Pupuk Indonesia, Sojitz, dan Elsoro Multi Pratama.
Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, pemerintah memfasilitasi pemberian fasilitas dan insentif bagi investor yang ingin mendirikan industri petrokimia, di antaranya pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2016, pemerintah telah membuka jalan baru di Papua sebagai komitmen dalam membangun kawasan Indonesia Timur.
Upaya ini juga dilakukan untuk mendukung investasi petrokimia baru di Bintuni, Papua Barat. Selain jalan, pemerintah juga telah melengkapi kebutuhan infrastruktur dasar seperti air, listrik yang memadai dan pelabuhan industri.
Fasilitas lainnya, yakni insentif fiskal berupa tax allowance dan tax holiday dengan persyaratan tertentu untuk industri yang spesifik. Selain itu, sedang diusulkan insentif khusus berupa pembebasan pajak untuk 20 tahun. Kebijakan ini masih terus didiskusikan di rapat tingkat Menko Perekonomian, yang akan dimanfaatkan bagi investor di Bintuni dan Masela.
Sigit menambahkan, kapasitas industri petrokimia terus meningkat sejak tahun 2010 dengan rata-rata 0,845 million ton per annum (MTPA). Total kapasitas di 2016 mencapai 33,727 MT.
“Saat ini, industri petrokimia di Indonesia mampu memproduksi 42 jenis produk, dengan produk utama urea, ammonia, ethylene dan propylene,” ujarnya.
Meski berada di peringkat kelima dunia, namun Indonesia memiliki tantangan di industri petrokimia pada tiga basis produk, yaitu olefin, methane dan aromatic. “Indonesia masih membutuhkan impor untuk kimia dan farmasi. Menurut BPS, Indonesia mengimpor US$ 19,03 miliar di 2016, sedangkan ekspornya US$ 10,84 miliar,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News