Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Freeport Indonesia (PTFI) tengah mengerjakan fasilitas pemurnian dan pengolahan tembaga (smelter) yang terletak di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik Jawa Timur. Smelter tersebut membutuhkan investasi sekitar US$ 3 miliar.
Direktur Utama PTFI Tony Wenas mengatakan, untuk membiayai proyek smelter tersebut pihaknya tengah melakukan pembicaraan untuk mendapatkan pinjaman dari perbankan. Tony bilang, saat ini sudah ada sembilan bank yang siap memberikan dana sekitar US$ 2,8 miliar untuk mendanai smelter yang ditargetkan beroperasi di Kuartal IV 2023 ini.
Baca Juga: Kata asosiasi tambang soal wacana sentralisasi perizanan tambang di omnibus law
Tony memang masih enggan membuka bank mana saja yang akan memberi pinjaman ke PTFI. Hanya saja, ia mengatakan bahwa sembilan bank tersebut ada yang berasal dari luar dan dalam negeri.
"Pembiayaan kita sedang bicara dengan bank yang sudah siap, walau belum ditandatangani sehingga belum bisa kita disclose. Intinya ada sekitar sembilan bank yang sudah siap mendanai sekitar US$ 2,8 miliar," terang Tony dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (19/2).
Menurut Tony, saat ini pengerjaan proyek memang masih bisa dibiayai dengan kas internal. Namun, kebutuhan dana kian meningkat setelah masuk ke tahap konstruksi fisik yang ditargetkan dimulai pada Agustus 2020 mendatang. Dalam catatan Kontan.co.id, hingga Juli 2019, serapan dana untuk pengerjaan proyek smelter ini mencapai US$ 151,7 juta.
Sementara untuk tahun ini, Tony bilang bahwa pihaknya akan mengeluarkan dana sekitar US$ 600 juta untuk pengerjaan smelter. "US$ 600 juta di tahun ini, untuk semua, antara lain konstruksi fisik," sebutnya.
Baca Juga: Aneka Tambang (ANTM) kucurkan Rp 114,26 miliar untuk aktivitas eksplorasi tahun 2019
Tony juga masih enggan memberikan detail skema pinjaman. Namun, ia menegaskan bahwa pembayaran pinjaman ini tidak akan membebani pemegang saham, termasuk MIND ID, holding pertambangan BUMN yang kini memegang 51,23% saham PTFI.
Artinya, semua pembayaran akan ditanggung oleh kas PTFI. "Ini clean (tidak membebani pemegang saham) Jadi ini corporate debt. Di atas kertas kita sanggup (bayar)," ungkap Tony.
Adapun, dalam laporan verifikasi terbaru kepada Kementerian ESDM, progres per periode Januari 2020 mencapai 4,88% dari total proyek.
Tony menjelaskan bahwa smelter dengan nilai investasi sekitar US$ 3 miliar ini memiliki dua fasilitas. Yakni untuk mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga, serta fasilitas pemurnian logam berharga atau Precious Metal Refinery (PMR).
Baca Juga: Begini catatan pengamat soal wacana sentralisasi perizinan tambang di omnibus law
Tony bilang, smelter tembaga memiliki kapasitas input 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan dapat menghasilkan katoda tembaga sebanyak 550.000-600.000 ton per tahun. Fasilitas ini ditargetkan rampung kuartal IV 2023.
Sementara kapasitas fasilitas PMR bisa mengolah 6.000 lumpur anoda per tahun. Menurut Tony, fasilitas PMR ini bisa rampung lebih awal, yakni sekitar Kuartal IV 2022.
Produk turunan yang bisa dihasilkan dari fasilitas PMR itu ialah emas, perak, platinum, paladium, selenium, bismut, dan timbal. Khusus untuk produk emas, Tony mengatakan bahwa smelter tersebut bisa menghasilkan 35 ton per tahun.
Serapan domestik
Adapun, saat ini hanya ada satu smelter yang mengolah dan memurnikan konsentrat PTFI di dalam negeri, yakni PT Smelting Gresik. Di sana, PTFI memegang 25% kepemilikan dan sisanya dimiliki oleh Mitsubishi Corporation.
Baca Juga: Mitrabara Adiperdana (MBAP) raih kinerja operasional positif tahun lalu
Tony mengatakan, Smelting hanya bisa memproses sekitar 40% dari produksi konsentrat tembaga PTFI. Sementara 60% sisanya di ekspor ke sejumlah negara terutama negara Asia, seperti Jepang, Korea, Filipina, India dan China.
Menurut Tony, dari sekitar 300.000 ton katoda tembaga yang diproduksi PT Smelting, 50% diantaranya masih diekspor. Hal itu lantaran belum banyak industri domestik yang dapat menyerap katoda tembaga.
Sehingga, jika smelter baru PTFI yang berkapasitas sekitar 600.000 ton itu beroperasi, kemungkinan semuanya akan diekspor. Oleh sebab itu, Tony mendorong agar ada pertumbuhan industri di dalam negeri sehingga produksi tembaga bisa terserap. "Jadi industri di dalam negeri perlu tumbuh, supaya tembaga dikonsumsi. Kalau tidak ada yang serap, ya 100% ekspor," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News