Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
Adapun, dalam laporan verifikasi terbaru kepada Kementerian ESDM, progres per periode Januari 2020 mencapai 4,88% dari total proyek.
Tony menjelaskan bahwa smelter dengan nilai investasi sekitar US$ 3 miliar ini memiliki dua fasilitas. Yakni untuk mengolah konsentrat tembaga menjadi katoda tembaga, serta fasilitas pemurnian logam berharga atau Precious Metal Refinery (PMR).
Baca Juga: Begini catatan pengamat soal wacana sentralisasi perizinan tambang di omnibus law
Tony bilang, smelter tembaga memiliki kapasitas input 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan dapat menghasilkan katoda tembaga sebanyak 550.000-600.000 ton per tahun. Fasilitas ini ditargetkan rampung kuartal IV 2023.
Sementara kapasitas fasilitas PMR bisa mengolah 6.000 lumpur anoda per tahun. Menurut Tony, fasilitas PMR ini bisa rampung lebih awal, yakni sekitar Kuartal IV 2022.
Produk turunan yang bisa dihasilkan dari fasilitas PMR itu ialah emas, perak, platinum, paladium, selenium, bismut, dan timbal. Khusus untuk produk emas, Tony mengatakan bahwa smelter tersebut bisa menghasilkan 35 ton per tahun.
Serapan domestik
Adapun, saat ini hanya ada satu smelter yang mengolah dan memurnikan konsentrat PTFI di dalam negeri, yakni PT Smelting Gresik. Di sana, PTFI memegang 25% kepemilikan dan sisanya dimiliki oleh Mitsubishi Corporation.
Baca Juga: Mitrabara Adiperdana (MBAP) raih kinerja operasional positif tahun lalu
Tony mengatakan, Smelting hanya bisa memproses sekitar 40% dari produksi konsentrat tembaga PTFI. Sementara 60% sisanya di ekspor ke sejumlah negara terutama negara Asia, seperti Jepang, Korea, Filipina, India dan China.
Menurut Tony, dari sekitar 300.000 ton katoda tembaga yang diproduksi PT Smelting, 50% diantaranya masih diekspor. Hal itu lantaran belum banyak industri domestik yang dapat menyerap katoda tembaga.
Sehingga, jika smelter baru PTFI yang berkapasitas sekitar 600.000 ton itu beroperasi, kemungkinan semuanya akan diekspor. Oleh sebab itu, Tony mendorong agar ada pertumbuhan industri di dalam negeri sehingga produksi tembaga bisa terserap. "Jadi industri di dalam negeri perlu tumbuh, supaya tembaga dikonsumsi. Kalau tidak ada yang serap, ya 100% ekspor," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News