Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Industri petrokimia dalam negeri menghadapi tekanan berat dengan risiko membanjirnya pasokan produk asal China akibat penerapan bea masuk tambahan ke Amerika Serikat.
Seiring penetapan tarif bea masuk ke AS, industri petrokimia global yang dipimpin China sebagai produsen terbesar terancam. Alhasil, produk China berpotensi pindah haluan ke Asia Selatan, Thailand, Malaysia, Vietnam, hingga Indonesia.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengungkapkan, saat ini saja volume impor petrokimia dari China ke Indonesia sudah melonjak hampir dua kali lipat dalam dua tahun terakhir.
Proyeksinya, pada tahun penuh 2025 nanti impor bisa mencapai 150.000 ton, hampir dua kali lipat dari impor 2024 sebesar 80.000 ton.
Baca Juga: Insentif Mengguyur, Kas Penerimaan Pajak Bisa Seret di Akhir Tahun
Lonjakan tersebut diperkirakan akan semakin besar lagi pada 2026, seiring dampak kebijakan tarif bea masuk baru Amerika Serikat (AS) utamanya terhadap produk asal Negeri Tirai Bambu.
“Kapasitas produksi petrokimia di China terus meningkat karena banyak pabrik baru yang mulai beroperasi di sana. Mereka punya keunggulan teknologi dan sumber bahan baku yang lengkap, mulai dari batu bara, gas, minyak, hingga hasil refinery sendiri,” jelas Fajar kepada Kontan, Senin (6/10/2026).
Kondisi tersebutlah yang membuat China mampu memproduksi bahan baku plastik dan produk turunannya dengan biaya jauh lebih efisien dibandingkan produsen dalam negeri.
Risiko di Industri Hilir
Baca Juga: Anak Usaha ABMM Angkat Pertanian Ramah Lingkungan ke Pentas Nasional
Selain bahan baku, produk plastik jadi juga mulai membanjiri pasar domestik. Fajar membeberkan, dalam dua tahun terakhir impor produk plastik jadi sudah mencapai 900.000 hingga 1 juta ton per tahun, dan berpotensi menembus 1,2 juta ton bila tak segera diantisipasi.
“Kalau pemerintah tidak memperketat impor dengan penerapan standar, safeguard, atau anti-dumping, industri hilir kita akan terpukul duluan. Setelah hilirnya lemah, industri hulu pasti ikut terdampak,” tegas Fajar.
Ia membeberkan, satu industri PET (polyethylene terephthalate) di dalam negeri sudah terpaksa tutup karena tidak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah.
Fajar menjelaskan, keunggulan struktural China terletak pada diversifikasi sumber bahan baku dan efisiensi teknologi produksi. Sementara, industri petrokimia Indonesia masih bergantung pada bahan baku nafta dan refinery domestik yang terbatas. Akibatnya, biaya produksi di dalam negeri lebih tinggi dan daya saing semakin tergerus.
“Masalahnya bukan cuma harga. Dari sisi teknologi dan fleksibilitas bahan baku, China jauh lebih siap. Mereka bisa produksi besar dengan bahan baku variatif, sementara kita hanya mengandalkan satu-dua sumber,” jelasnya.
Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa perlindungan kebijakan, Fajar memperingatkan utilisasi pabrik dalam negeri akan terus menurun.
Untuk industri hulu, ia bilang utilisasi bisa turun di bawah 60%. Kalau sudah di bawah itu, besar kemungkinan ada bisnis yang mati lagi. Sedangkan di hilir, risiko penurunan utilisasi bisa di bawah 50%.
“Artinya banyak pabrik tutup dan pelaku beralih menjadi trader,” kata Fajar..
Penurunan utilisasi itu juga mulai berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Fajar mengungkapkan, perusahaan di sektor hilir telah mengurangi produktivitas, dari tiga shift produksi menjadi cuman dua. Sementara itu, pabrik di sektor hulu menghadapi dilema antara tetap beroperasi penuh atau berhenti total.
“Tren pengurangan tenaga kerja sudah mulai terasa. Kalau tidak segera diintervensi, efek berantainya bisa panjang. Dari penurunan produksi, PHK, sampai hilangnya penerimaan pajak,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Inaplas mendesak pemerintah untuk segera mengatur kuota impor dan memperkuat perlindungan industri domestik melalui kebijakan safeguard dan anti-dumping.
“Pemerintah harus memastikan impor tidak melebihi kapasitas kebutuhan dalam negeri. Kalau tidak, industri dalam negeri akan semakin tertekan,” tandasnya.
Baca Juga: Strategi Jaya Ancol (PJAA) Menjaga Pertumbuhan Kinerja hingga Akhir 2025
Selanjutnya: Tabel Harga Emas Antam 6 Okt 2025 – Semua Ukuran, Naik 0,5%
Menarik Dibaca: 5 Makanan yang Mengurangi Risiko Penurunan Kognitif Setelah Usia 55 Tahun, Apa Saja?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News