Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Edy Can
JAKARTA. Keputusan Kementerian Pertanian menambah kuota impor daging tahun ini dari 50.000 ton menjadi 72.000 ton akhir Maret kemarin, langsung berdampak terhadap peternak lokal. Harga sapi potong peternak lokal turun. Penurunan ini terutama terasa di Jawa Timur, salah satu daerah yang banyak memasok sapi ke Jakarta.
Budi Agustomo, Ketua Forum Peternak Sapi Jawa Timur, mengatakan harga sapi betina peternak sekarang ini hanya Rp 18.000-Rp 19.000 per kilogram (kg) hidup, turun dari harga rata-rata tahun lalu Rp 23.000-Rp 24.000 per kg. Nasib sapi jantan pedaging juga tidak berbeda, yaitu turun dari Rp 24.000 - Rp 25.000 per kg menjadi Rp 20.000- Rp 21.000 per kg.
Sebagai catatan, harga sapi jantan selalu lebih tinggi dari sapi betina. "Harga pantas sapi jantan itu Rp 24.000-Rp 25.000 per kg," ujar Budi kepada KONTAN, Jumat (8/4). Penyebab penurunan harga tersebut rupanya masih menjadi polemik. Budi menyatakan, penurunan tersebut terjadi karena tergerus daging impor yang juga masuk ke pasar tradisional.
Padahal, menurut Budi, harga daging impor lebih murah, hanya Rp 40.000 - Rp 46.000 per kg. Harga daging sapi peternak sampai ke pasar tradisional dijual Rp 55.000- Rp 60.000 per kg.
Di Jawa Timur, sebenarnya daging impor sudah dilarang beredar di pasar tradisional. Surat edaran Gubernur Jawa Timur akhir Maret kemarin, menurut Budi, hanya membolehkan daging impor masuk ke hotel dan restoran. Maka, Budi menyayangkan penambahan kuota impor daging tersebut. "Alangkah baiknya, jika kuota impor tambahan itu diambil dari sapi dari peternak," tegasnya.
Asnawi, Ketua Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) juga kecewa. Ia menduga ada upaya sistematis untuk menurunkan harga sapi lokal. "Peternak sengaja dihabisi karena impor daging menguntungkan importir," tegas Asnawi.
Toh, tudingan tersebut dibantah kalangan importir daging. Thomas Sembiring, Ketua Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi), menyatakan, daging impor tidak bisa masuk ke pasar tradisional terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebab, kedua daerah itu telah melarang peredaran daging impor di pasar tradisional. "Apalagi harga daging sapi impor lebih mahal, mana mungkin bisa masuk ke pasar tradisional," tepis Thomas.
Thomas mengakui ada daging impor yang masuk ke kedua provinsi itu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hotel berbintang. Selain itu, daging impor juga masuk ke daerah yang kekurangan daging seperti Jabodetabek, Sulawesi, dan Kalimantan. "Kalau masuk daerah defisit daging maka itu bukan masalah," kata Thomas.
Thomas berharap, pemerintah daerah (Pemda) Jawa Timur dan Jawa Tengah lebih jeli mengawasi. Jika daging impor beredar di pasar tradisional, ia meminta lakukan penindakan. "Kalau ketemu silakan tangkap, biar jangan menyalahkan importir," tandas Thomas.
Ada pengaruh blantik
Teguh Boediana, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) mengatakan, mata rantai sapi lokal memang lebih panjang dari impor. Karena, umumnya peternak menjual sapi ke blantik (pedagang kecil), kemudian ke pedagang pengumpul, masuk pasar hewan, kemudian ke pengusaha jagal sapi. Lalu dagingnya dijual ke konsumen. "Harga dari peternak rendah, tetapi di konsumen tinggi," kata Teguh.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News