Reporter: Raymond Reynaldi | Editor: Test Test
JAKARTA. Program proteksi "Batik Mark" yang dicetuskan oleh Departemen Perindustrian dan Yayasan Batik Indonesia (YBI) hingga kini masih minim peminat. Sejak pertama kali diluncurkan lewat Peraturan Menteri Perindustrian No. 74/M-IND/PER/9/2007, baru 32 pengusaha yang menggunakan Batik Mark pada produk kain batiknya.
"Mayoritas di Pulau Jawa, sebanyak sembilan pengusaha lagi diproses," kata Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian Fauzi Aziz, usai peresmian Pameran Batik Warisan Budaya, Selasa (1/12).
Batik Mark adalah proteksi atas produk batik nasional melalui pelabelan pada kain yang diproduksi para perajin. Mereka bisa mengajukan permohonan Batik Mark ke Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta. Biaya yang dikutip sebesar Rp 1 juta per pemohon.
Karena program ini tergolong baru, kata Aziz, menjadi penyebab masih sedikitnya pemohon label proteksi batik. Padahal, Departemen Perindustrian menyediakan subsidi bagi perajin yang belum mampu secara finansial. "Ada beberapa yang sudah disubsidi" ungkap dia.
Sebagai informasi, sejak ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh UNESCO, volume bisnis industri batik terus meningkat. "Industri ini sudah tersebar di 38 Kabupaten/Kota. Di Pekalangon volume bisnisnya bertambah sampai 40%. Jadi psikologi efeknya luar biasa," terang Fauzi.
Hal inilah yang menjadi pemicu Departemen Perindustrian bersama Yayasan Batik Indonesia (YBI) merangsang para perajin batik untuk melabelkan produknya dengan Batik Mark. Apalagi, Departemen Perindustrian meramalkan, nilai ekspor produk bernilai seni tinggi itu akan terus naik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News