Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keberadaan energi fosil, dalam hal ini batubara dan gas dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034, dinilai akan berpengaruh pada investasi sektor Energi Baru Terbarukan (EBT).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan rencana ini akan menimbulkan kebingungan kepada investor.
"Kebingungan pasti ada di sisi investor, apakah mau masuk ke batubara lagi atau masuk ke EBT. Apalagi pembangkit batubara masih disubsidi besar-besaran oleh APBN," katanya kepada Kontan, Kamis (29/05).
Dia juga menjelaskan dari sisi sektor investasi, level of playing field antara sektor fosil dengan EBT di Indonesia masih belum seimbang.
"Ini yang akan membuat delay dari upaya mendorong transisi energi langsung ke EBT," ungkapnya.
Baca Juga: Genjot Investasi dan Serapan Tenaga Kerja, PLN Siap Jalankan RUPTL 2025-2034
Asal tahu saja, dalam RUPTL terbaru tertulis, terdapat peluang investasi untuk pembangkit senilai RP 2.133,7 triliun. Sekitar 73% dialokasikan untuk partisipasi Independent Power Producer (IPP) yaitu sebesar Rp 1.566,1 triliun.
Dengan pembagian Rp 1.341,8 triliun investasi dari sektor EBT dan non-EBT sebesar Rp 224,3 triliun.
Selain itu, masih adanya energi fosil juga dianggap bertentangan dengan target Net Zero Emission (NZE) Indonesia pada 2060 serta janji Presiden Prabowo Subianto pada KTT G20 Brasil yang akan menghentikan semua pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahan bakar fosil pada tahun 2040.
Dalam RUPTL 2024-2035 masih ditargetkan adanya penambahan 6,3 gigawatt (GW) tambahan pembangkit dari batubara dan 10,3 GW dari gas.
Menurutnya, emisi karbon yang dihasilkan dari tambahan ini bisa mencapai 31,5 juta ton CO2.
"Dan perlu diingat, begitu sudah dibangun (PLTU) maka umurnya bakal panjang. Bisa 15-20 tahun dan ini akan hambat penurunan emisi yang signifikan," ungkap dia.
Selain itu, Bhima juga menyoroti bahwa di RUPTL terbaru juga tidak mencantumkan rencana pemensiunan dini PLTU.
"Itu yang buat RUPTL kurang layak disebut sebagai rencana mencapai target iklim yang ambisius," kata dia.
Dalam catatan Celios, terdapat beberapa PLTU yang saat ini masih dalam tahap on progress, seperti PLTU Jawa 9 & 10, PLTU Tanjung Jati A 2x660 MW, PLTU Cirebon 2, dan PLTU Sumsel 8 (PLTU Tanjung Lalang) yang belum beroperasi secara penuh.
Selain itu, captive power plant atau PLTU captive yang merupakan pembangkit untuk memenuhi kebutuhan energi dari sektor industri jumlahnya diprediksi akan terus meningkat.
Berdasarkan data dari Global Energy Monitor (GEM), pada tahun 2024, PLTU captive menyumbang lebih dari 80% dari tambahan kapasitas baru sebesar 1,9 GW di Indonesia.
Dan menurut Global Coal Plant Tracker, Indonesia memiliki 130 unit PLTU captive dengan kapasitas 30 megawatt (MW) atau lebih yang telah beroperasi, serta 21 unit tambahan dalam tahap prakonstruksi dan konstruksi.
"RUPTL masih kurang serius mewujudkan penurunan emisi karbon yang signifikan. Bahkan dengan teknologi retrofit seperti CCS, dan amonia yang diterapkan ke PLTU baru. Saya rasa, belum bisa mendorong capaian penurunan emisi dibandingkan dengan instalasi EBT," tutupnya.
Baca Juga: Bauran EBT Ditarget 42,6 GW Hingga 2035, HGII Kembangkan 4 Jenis Pembangkit EBT
Selanjutnya: Inilah Hasil Kesepakatan Strategis yang Dicapai antara Singapura dan Prancis
Menarik Dibaca: Cuaca Besok di Kota Jogja Cerah, tapi Wilayah di Sekitarnya Berawan dan Hujan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News