kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Bea Keluar 10% membuat petani Kakao makin terjepit


Sabtu, 08 Januari 2011 / 09:21 WIB
Bea Keluar 10% membuat petani Kakao makin terjepit


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Kondisi amannya Pantai Gading tentu saja menjadi kabar gembira menyejukkan hati bagi warga dunia ini. Akan tetapi, kabar ini belum tentu menjadi kabar gembira bagi para petani Kakao di Indonesia. Harga kakao tiga hari belakangan ini turun menjadi US$ 2.830 dari US$ 3.070, gara-gara lancarnya ekspor kakao karena pantai gading sudah dalam kondisi aman.

Produksi kakao aparter misalnya melimpah di Eropa saat ini. Akibatnya permintaan terhadap kakao menurun. Penurunan harga ini menurut Ketua Umum Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Zulhefi Sikumbang bisa mencapai US$ 2.500. “Para petanilah yang menjadi korban pertama atas penurunan harga kakao tersebut,” tegasnya.

Pemerintah selama ini menerapkan pajak 10% terhadap petani kakao. Artinya, bila harga kakao dunia US$ 3.000, maka harga yang diterima petani Rp 20.000 per kilogram (kg) seharusnya tanpa pajak bea keluar 10% petani bisa mendapat Rp 23.000. Namun bila harga kakao dunia turun menjadi US$ 2.500, maka petani hanya mendapatkan Rp 18.000 per kg.

Menurut Zulhefi, tanpa pajak ekspor seharusnya petani kakao masih bisa mendapatkan keuntungan. Justru dengan penurunan harga kakao, ditambah dengan beban bea keluar yang mencekik membuat petani kakao akan beralih pekerjaan. “Seharusnya pemerintah yang menyubsidi petani dan bukan petani yang menyubsidi pemerintah,” ujarnya.

Harga yang rendah dan pajak bea keluar yang tinggi membuat petani tidak tertarik lagi bertani kakao. Akibatnya petani-petani yang memiliki perkebunan kakao akan beralih bertani jagung seperti halnya terjadi di Sulawesi. Kebun-kebun kakao mereka ganti dengan kebun kelapa sawit karena harganya lebih menjanjikan. Situasi yang sama juga terjadi di Sumatera di mana sebagian besar petani kakao mengganti lahan kakaonya dengan kebun karet di mana harga karet sekarang lagi tinggi-tingginya.

Sejalan dengan itu, Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) M. Hasyim membenarkan tingginya pajak bea keluar yang dipatok pemerintah. Pajak bea keluar itu diukur berdasarkan dolar dan presentasi. Para pedagang tentu saja tidak mau merugi dengan bea keluar itu, maka para pedagang akan membeli kakao dari para petani dengan harga rendah. Akhirnya, petani juga yang menjadi korban kebijakan pajak pemerintah itu.

Selain tingginya pajak bea keluar kakao, cuaca yang buruk membuat produk kakao kurang bagus. “Untuk penjemuran saja para petani mengalami kesulitan,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (7/1). Tambah lagi, bila pemerintah merealisasikan SNI 2323 tentang masalah mutu, untuk menjaring para investor luar negeri menanamkan sahamnya di perkebunan Kakao Indonesia, maka produk-produk kakao para petani harus baik. Sementara usaha dari pemerintah sendiri untuk meningkatkan daya saing produk kakao belum terlihat.

Menurut Hasyim, masalah bea keluar yang tinggi telah dibicarakan dengan pemerintah. Diharapkan pada awal tahun ini, bea keluar tersebut bisa ditinjau ulang. Para petani mengharapkan agar pemerintah tidak lagi mematok pajak berdasarkan ukuran dolar, melainkan rupiah saja. “Petani setuju bila setiap satu kilo kakao pemerintah mematok bea keluarnya seribu rupiah saja,” imbuh Hasyim. Hal tersebut mengantisipasi supaya pemerintah tidak mematok pajak berdasarkan harga pasar internasional. “Jangan sampai kalau harga naik, pajak juga naik,” ujar Hasyim.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×