Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Markus Sumartomjon
JAKARTA. Pasar alat berat yang masih lesu di awal tahun ini bukan menjadi satu-satunya persoalan industri alat berat domestik. Beban biaya pebisnis alat berat di kuartal satu (Q1) juga makin berat.
Pratjodjo Dewo, Ketua Umum Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) menghitung, biaya produksi di industri alat berat bisa naik 5% dikuartal I 2013 dibanding periode yang sama tahun lalu. Penyebabnya tak lain kenaikan tarif listrik dan upah pekerja awal tahun ini.
Ia merinci, bagi industri perakitan alat berat, biaya listrik memberi porsi kenaikan 2% terhadap biaya produksi. Sementara upah buruh bisa mendongkrak biaya produksi hingga 4%.
Sedangkan di industri komponen alat berat, kontribusi dua unsur ini lebih besar lagi. Yakni 3% untuk kenaikan listrik dan 8% bagi upah pekerja. "Jadi secara umum kenaikan biaya produksi bisa 5%," katanya kemarin.
Ini masih belum ditambah dengan kenaikan bahan baku baja di pasar global yang sudah mencapai 15% dibanding harga tahun lalu. Asal tahu saja, industri alat berat rata-rata membutuhkan sekitar 150.000 ton baja per tahun.
Imbasnya, biaya produksi alat berat akan bertambah lagi menjadi 5%. Namun, menurut Pratjodjo, imbas ini diperkirakan baru mulai terjadi dikuartal kedua nanti. Artinya, beban biaya produksi pebisnis alat berat di kuartal kedua nanti akan bertambah menjadi 10%. "Jadi dengan kenaikkan harga baja biaya produksi secara umum bisa naik lagi jadi 10%," timpalnya.
Sejatinya, bila biaya produksi membengkak, maka kenaikan harga menjadi pilihan yang rasional. Namun, tampaknya, pebisnis alat berat tidak akan mengambil opsi ini.
Tren pelemahan permintaan alat berat sejak tahun lalu membuat persaingan di industri alat berat makin ketat sehingga aspek harga akan sangat berpengaruh.
Maklum, selain bersaing dengan pebisnis alat berat domestik, mereka juga harus bersaing dengan alat berat impor yang banyak menyasar pasar Indonesia.
Misalnya dengan alat berat asal China yang berbanderol lebih miring ketimbang alat berat rakitan domestik. Murahnya alat berat asal China disebabnya pasokan yang berlebih di negara itu.
Namun, pebisnis alat berat domestik tidak tinggal diam. Supaya bisa bersaing, Pratjodjo bilang, mereka akan mengutamakan layanan purna jual yang lebih baik untuk menarik minat pembeli. Misalnya, layanan perbaikan alat berat langsung di lokasi. "Lewat cara ini, loyalitas pelanggan terhadap kami bisa terjaga," ucapnya.
Benny Kurniawijaya, Chairman PT Jimac Perkasa, pemasok alat berat China merek Sany, mengakui keunggulan alat berat asal China ini. Yakni punya harga yang murah.
Supaya laku, ia sengaja mengincar pasar alat berat terlaris yakni berbobot 25 ton sampai 45 ton. "Dengan strategi ini, pertumbuhan penjualan 20% - 30% per tahun bisa tercapai," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News