kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.535.000   -4.000   -0,26%
  • USD/IDR 16.154   46,00   0,28%
  • IDX 7.083   2,21   0,03%
  • KOMPAS100 1.052   -2,81   -0,27%
  • LQ45 823   -3,34   -0,40%
  • ISSI 212   0,00   0,00%
  • IDX30 421   -2,81   -0,66%
  • IDXHIDIV20 503   -3,88   -0,77%
  • IDX80 120   -0,32   -0,27%
  • IDXV30 125   -0,01   -0,01%
  • IDXQ30 139   -0,96   -0,69%

Beban bisnis alat berat makin berat


Rabu, 13 Maret 2013 / 10:28 WIB
Beban bisnis alat berat makin berat
ILUSTRASI. TAJUK - Djumyati Partawidjaja


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Markus Sumartomjon

JAKARTA. Pasar alat berat yang masih lesu di awal tahun ini bukan menjadi satu-satunya persoalan industri alat berat domestik. Beban biaya  pebisnis alat berat di kuartal satu (Q1) juga makin berat.

Pratjodjo Dewo, Ketua Umum Himpunan Alat Berat Indonesia (Hinabi) menghitung, biaya produksi di industri alat berat bisa naik 5% dikuartal I 2013 dibanding periode yang sama tahun lalu. Penyebabnya tak lain kenaikan tarif listrik dan upah pekerja awal tahun ini.

Ia merinci, bagi industri perakitan alat berat, biaya listrik memberi porsi kenaikan 2% terhadap biaya produksi. Sementara upah buruh bisa mendongkrak biaya produksi hingga 4%.

Sedangkan di industri komponen alat berat, kontribusi dua unsur ini lebih besar lagi. Yakni 3% untuk kenaikan listrik dan 8% bagi  upah pekerja.  "Jadi secara umum kenaikan biaya produksi bisa 5%," katanya kemarin.

Ini masih belum ditambah dengan kenaikan bahan baku baja di pasar global yang sudah mencapai 15% dibanding harga tahun lalu. Asal tahu saja, industri alat berat rata-rata membutuhkan sekitar 150.000 ton baja per tahun.

Imbasnya, biaya produksi alat berat akan  bertambah lagi menjadi 5%. Namun, menurut Pratjodjo, imbas ini diperkirakan baru mulai terjadi dikuartal kedua nanti. Artinya, beban biaya produksi pebisnis alat berat di kuartal kedua nanti akan bertambah menjadi 10%. "Jadi dengan kenaikkan harga baja biaya produksi secara umum bisa naik lagi jadi 10%," timpalnya.

Sejatinya, bila biaya produksi membengkak, maka kenaikan harga menjadi pilihan yang rasional. Namun, tampaknya, pebisnis alat berat tidak akan mengambil opsi ini.

Tren pelemahan permintaan alat berat sejak tahun lalu membuat persaingan di industri alat berat makin ketat sehingga aspek harga akan sangat berpengaruh.

Maklum, selain bersaing dengan pebisnis alat berat domestik, mereka juga harus bersaing dengan alat berat impor yang banyak menyasar pasar Indonesia.

Misalnya dengan alat berat asal China yang berbanderol lebih miring ketimbang alat berat rakitan domestik. Murahnya alat berat asal China disebabnya pasokan yang berlebih di negara itu.

Namun, pebisnis alat berat domestik tidak tinggal diam. Supaya bisa bersaing, Pratjodjo bilang, mereka akan mengutamakan layanan purna jual  yang lebih baik untuk menarik minat pembeli. Misalnya, layanan perbaikan alat berat langsung di lokasi. "Lewat cara ini, loyalitas pelanggan terhadap kami bisa terjaga," ucapnya.

Benny Kurniawijaya, Chairman PT Jimac Perkasa, pemasok alat  berat China merek Sany, mengakui keunggulan alat berat asal China ini. Yakni punya harga yang murah.

Supaya laku, ia sengaja mengincar pasar alat berat terlaris yakni berbobot 25 ton sampai 45 ton.  "Dengan strategi ini, pertumbuhan penjualan  20% - 30% per tahun bisa tercapai," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×