kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Beberapa hal seperti ini perlu diperhatikan dalam revisi UU Minerba


Minggu, 07 Oktober 2018 / 18:45 WIB
Beberapa hal seperti ini perlu diperhatikan dalam revisi UU Minerba
ILUSTRASI. Ilustrasi Kementerian ESDM


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) masih menjadi agenda. Dikutip dari laman resmi DPR RI, revisi ini telah diusulkan sejak 2 Februari 2015. Namun perubahan tersebut nampaknya masih jauh dari tuntas.

Menurut Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika, saat ini perubahan UU Minerba masih dalam proses pembahasan drafting di Badan Legislasi (Baleg). 

Kardaya berkata, ada sejumlah isu yang dibahas di dalam revisi ini, antara lain mengenai pemberian izin, perpanjangan ketika kontrak perusahaan minerba berakhir, terkait dengan penerimaan negara, serta tentang hilirisasi. “Masih drafting di Baleg. Sepertinya masih lama kalau dilihat dari progresnya sekarang,” kata Kardaya sat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (7/10).

Ada sejumlah poin yang disoroti oleh Kardaya, khususnya mengenai batubara. Menurutnya, harus ada pengaturan yang lebih ketat soal batubara, mengingat fungsinya sebagai bagian dari sumber energi nasional.

“Batubara itu sumber energi, apalagi tahun depan sumber energi kita sudah mulai defisit. Jadi harus lebih ketat mengenai eksploitasinya. Juga pemanfaaan di dalam negeri, yang terkait juga dengan lingkungan” imbuhnya.

Hal senada juga diamini oleh Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso. Menurut Budi, harus lebih ditegaskan bahwa batubara jangan hanya dilihat sebagai komoditas dagang biasa, namun sebagai sumber energi yang vital bagi kepentingan nasional.

“Ketika batubara menjadi barang vital, maka seharusnya memanfaatkan batubara untuk mengurangi impor migas dan mengurangi subsidi dengan pengelolaan dari hulu sampai hilirnya,” ungkapnya.

Terkait dengan hal itu, menurut Koordinator nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah, kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) minimal 25% dari total produksi, sebaiknya ditegaskan dalam UU. 

Isu pentingnya, lajut Maryati, bagaimana strategi pengelolaan batubara untuk kepentingan dalam negeri bisa sejalan dengan strategi ketahanan energi dan ekonomi nasional. “Juga strategi hilirisasi yang perlu di-regulate, misal soal gasifikasi (batubara),” ujarnya.

Perpanjangan Izin

Soal perolehan dan perpanjangan izin, menurut Maryati, perlu diperketat. Dalam perolehan izin, ia bilang, perlu dipertegas soal ketentuan soal kapasitas, permodalan, due dilligence dari Pemerintah, serta dalam transparansi kepemilikan bisnis (beneficial ownership).

Sedangkan untuk perpanjangan, diperlukan study dan due dilligence yang mendalam, termasuk juga soal daya dukung lingkungan. “Idealnya jangka waktu kontrak hanya diberikan 20 tahun, dan perpanjangan cukup 2x5 tahun,” ujarnya.

Sementara menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, investasi di sektor minerba memerlukan kepastian investasi jangka panjang. Jadi, sangat penting untuk memperhatikan mengenai durasi perpanjangan kontrak.

Jika saat ini pemegang KK dan PKP2B memiliki masa berlaku kontrak 30 tahun dan dapat diperpanjang 2x10 tahun, maka apabila perpanjangan bisa langsung 20 tahun, menurut Hendra, hal itu bisa lebih baik dalam kaitan dengan jaminan kepastian usaha jangka panjang.

“Ini yang diharapkan investor karena jaminan kepastian usaha jangka panjang lebih kuat. Idealnya seperti itu karena investasi pertambangan itu umumnya memang jangka panjang,” kata Hendra.

Soal perpanjangan ijin ini, Hendra menyebut, ada sekitar 8 PKP generasi-1 yang akan berakhir masa kontraknya pada periode 2019-2025. “Yang paling awal 2019 nanti PT Tanito Harum,” ujarnya.

Soal revisi UU Minerba, khususnya terkait dengan batubara ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sri Raharjo masih enggan berkomentar. Begitu pun terkait dengan masa kontrak dimana Sri pun masih irit bicara.

Hanya saja, Sri membenarkan bahwa PT Tanito Harum adalah yang paling awal berakhir masa kontraknya. “Dalam catatan saya, hanya PT Tanito Harum yg akan berakhir tahun 2019,” katanya.

Sedangkan untuk perubahan UU Minerba secara keseluruhan,Kardaya masih belum bisa memastikan kapan revisi UU yang sudah masuk Prolegnas 2015-2019 ini akan usai. Apalagi, lanjut Kardaya, saat ini sudah masuk tahun politik, juga masa kampanye, sehingga hampir pasti perubahan ini tak akan bisa cepat terselesaikan.

“Untuk waktu tergantung bagaimana efektifnya pembahasan. Tapi tidak bisa memastikan, apalagi sekarang ini sudah disibukkan dengan (masa) kampanye,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×