Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) turut menyampaikan pandangan dan dukungan terhadap Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT). Beleid tersebut diharapkan dalam mengakselerasi pengembangan EBT di Indonesia.
Chief Executive Officer Subholding Power & New Renewable Energy (PNRE) Pertamina Heru Setiawan mengatakan, RUU EBT mesti mengakomodasi penetapan tarif yang mencerminkan tingkat risiko dan keekonomian investasi EBT.
RUU EBT dinilai mesti selaras dengan undang-undang lain di sektor energi lainnya, seperti UU Panas Bumi, UU Ketenagalistrikan, dan lain-lain. Hal itu cukup berkaitan dengan tantangan yang selama ini kerap dihadapi Pertamina dalam pengembangan EBT, yakni masalah perizinan lahan.
Heru memberi contoh, dalam upaya eksplorasi panas bumi, Pertamina kerap berhadapan dengan masalah perizinan lahan mengingat adanya konflik atau tumpang tindih antara UU No. 21/2014 tentang Panas Bumi dengan UU No. 17/2019 tentang Sumber Daya Air.
“Dalam UU Panas Bumi memungkinkan kegiatan eksplorasi dilakukan di hutan konservasi, tapi UU Sumber Daya Air justru melarang adanya pendayagunaan air di hutan konservasi,” ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (25/11).
Baca Juga: Pada Januari 2021, PLN akan lelang proyek konversi 5.200 PLTD ke EBT
Di samping itu, Pertamina meminta RUU EBT dapat memuat ketentuan yang mewajibkan badan usaha ketenagalistrikan untuk memprioritaskan pengembangan EBT, termasuk ketentuan mengenai apresiasi dan sanksi.
RUU EBT juga diharapkan dapat memberikan kemudahaan akses pelaku usaha dalam mendapatkan sumber pendanaan investasi. “Sekarang sudah banyak sekali pendanaan yang berorientasi lingkungan,” imbuh Heru.
Pertamina berharap RUU EBT dapat memuat ketentuan yang memberikan kemudahan dalam memperoleh insentif bagi pengembangan EBT di Indonesia. Tak ketinggalan, beleid tersebut juga diharapkan dapat mendorong konversi energi fosil menuju EBT.
Heru menambahkan, di tahun 2020, kapasitas EBT terpasang Pertamina berada di kisaran level 681 megawatt (MW). Dari jumlah tersebut, 672 MW di antaranya berasal dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) atau geothermal, sedangkan sisanya berasal dari sumber EBT lain.
Di tahun 2026 nanti, Pertamina menargetkan dapat memiliki kapasitas EBT terpasang mencapai 4.476 MW. PLTP bakal berkontribusi sebesar 1.108 MW, sedangkan sumber EBT lainnya menyumbang kapasitas sebesar 3.368 MW.
Pertamina pun terus menjalin sinergi pengembangan EBT baik antar holding dan subholding di internal Pertamina maupun dengan BUMN lainnya.
Bentuk sinergi tersebut antara lain berupa pembangunan PLTS di Pertamina Group, pembangunan PLTBg, PLTS, PLBg Co-Firing, dan PLTBm dengan PT Perkebunan Nusantara Group, pembangunan PLTS di lahan bekas tambang bersama PT Timah Tbk, dan pembangunan PLTS dan PLTSa dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Selain itu, Pertamina bersama PT LEN Industri dan PLN membentuk joint venture BUMN Surya yang pabrik panel surya beserta komponen penunjangnya. Ada juga sinergi Pertamina, MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk, dan PLN untuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik.
Pertamina juga menggandeng PLN untuk sejumlah proyek terkait PLTS Hybrid, pembangkit EBT di kawasan 3T, konversi PLTD menjadi pembangkit EBT, pembangunan pembangkit EBT untuk industri smelter, hingga pengembangan pembangkit panas bumi.
Tak hanya itu, Pertamina juga bersinergi dengan PT Pembangunan Aceh terkait pengembangan panas bumi Seulawah. Sinergi juga dilakukan dengan pihak swasta terkait pengembangan dan pendanaan EBT.
Selanjutnya: Ini usulan PLN perihal pembahasan RUU EBT
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News