Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Widodo Makmur Unggas Tbk (WMUU) tidak terganggu kondisi turunnya harga ayam. Strategi menjalin kerja sama jangka panjang menjadi kunci WMUU dari adanya kendala harga unggas yang fluktuatif.
Chief Marketing Officer PT Widodo Makmur Unggas Tbk Tri Mahawijaya Herlambang mengatakan, sebagai salah satu perusahaan unggas terintegrasi di Indonesia, penurunan harga ayam pedaging di pasaran tidak berdampak signifikan bagi perseroan.
"Perusahaan telah menjalin kerja sama penjualan jangka panjang dengan para konsumen dari berbagai segmen, termasuk HOREKA (Hotel Restoran Kafe) dan industri olahan daging ayam, sehingga harga penjualan lebih stabil. Kondisi tersebut juga berlaku untuk penjualan telur Perusahaan," kata Tri saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (18/8).
Hanya saja, Tri tidak membeberkan secara detail harga dan penjualan ayam perusahaan. Namun untuk saat ini harga penjualan daging maupun telur WMUU diakui telah kembali normal.
Dengan demikian, membuktikan bahwa harga ayam yang bergerak fluktuatif tidak berdampak bagi kinerja WMUU. Hal ini diakui perseroan berkat strategi WMUU yang menjalin kerja sama dengan Horeka sehingga tidak terkendala.
Baca Juga: Widodo Makmur Unggas (WMUU) Berpartisipasi Ekspor Ayam ke Singapura
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (Gopan) Sugeng Wahyudi membenarkan adanya fluktuasi harga ayam.
Sugeng menjelaskan, ayam dari kandang saat ini ditingkat peternak seharga Rp 20.000. Harga ini naik jika dibandingkan seminggu yang lalu sebesar Rp 18.000.
Sementara ayam hidup seharga Rp 20.000, dan jika menjadi karkas kira-kira harganya sekitar Rp 32.000. "Memang naiknya harga ayam dikandang baru dua hari ini," ungkap Sugeng.
Sugeng menilai, turunnya harga ayam pun tidak berdampak signifikan bagi kinerja perusahaan yang terintegrasi. Hal ini karena mulai dari produksi, pakan, budidaya ayam broilernya sudah sangat terjaga
"Sementara kita (peternak mandiri) hanya budidaya broiler saja," tutur Sugeng.
Selain itu, input perusahaaan relatif rendah jika dibandingkan dengan peternak mandiri. Artinya biaya pokok produksi peternak mandiri lebih tinggi jika dibanding dengan perusahaan. Inilah yang disebutkannya menjadi permasalahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News