kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Beleid kemasan rokok polos kikis pendapatan negara


Kamis, 09 Juni 2016 / 15:58 WIB
Beleid kemasan rokok polos kikis pendapatan negara


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Rencana penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek pada rokok tengah menjadi perdebatan di Tanah Air. Kebijakan yang berasal dari Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) itu dinilai berpotensi mengurangi pendapatan negara dari rokok.

Dalam skala global, kemasan polos tanpa merek terbukti menjadi primadona baru bagi pendanaan aksi terorisme, menyaingi gurihnya hasil penyelundupan narkoba.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, kebijakan kemasan rokok polos akan mendorong produsen-produsen rokok saling bersaing dalam harga. “Penyeragaman ini kontraproduktif dan menyebabkan perang harga,” kata Yustinus, Kamis (9/6).

Lantaran tidak adanya merek pada kemasan, Yustinus melanjutkan, produsen rokok dapat menjual produknya dengan harga semurah-murahnya. Langkah ini pun akan diikuti produsen-produsen lainnya. “Jika semua harga murah, penerimaan negara dari cukai bisa berpengaruh. Basis harga yang rendah di market, cukai pun turun,” kata dia.   

Padahal, penerimaan negara dari cukai tahun ini berpotensi meleset dari target. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan dari Januari hingga per Juni 2016, penerimaan negara dari cukai sebesar Rp 28,2 triliun. 

Angka ini hanya sekitar 19 persen dari target yang ditetapkan sekitar Rp 146 triliun. Kini, pemerintah tengah mengusulkan perubahan target cukai naik menjadi Rp 148 triliun di dalam RAPBNP 2016.

Yustinus menambahkan, penerapan kebijakan kemasan polos tanpa merek pun diprediksi akan mendorong maraknya penjualan rokok ilegal. Musababnya, tidak adanya perbedaan antara produk yang satu dengan lainnya. Karena itu, Yustinus berpendapat masyarakat pun sangat sulit untuk mengetahui yang mana produk resmi. “Jadi kebijakan ini kurang tepat untuk diterapkan,” dia berujar.

Dorong pertumbuhan dana terorisme

Analisis Yustinus didukung fakta global. Dalam ulasannya seperti dilansir Antara, konsultan keamanan yang pernah bekerja selama 26 tahun di Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Thomas Lesnak, berpendapat pemerintah Indonesia berada di bawah tekanan yang luar biasa untuk mempertimbangkan kebijakan kemasan polos tanpa merek. 

Sebuah studi yang didukung Bea dan Cukai Indonesia menunjukkan rokok ilegal di Indonesia terus meningkat secara konsisten, minimal 1% per tahun--sebesar 6,8% pada 2010 ke angka 11,6% pada 2014. Hasil penelitian lainnya menyebutkan persentase kerugian pemerintah sebesar US$300 juta-US$700 juta.

Senada dengan Yustinus, Lesnak menyatakan bahwa kebijakan kemasan polos tanpa merek diprediksi bakal menyuburkan penyelundupan rokok ilegal.

Lesnak memaparkan bahwa Departemen Luar Negeri AS, Interpol, dan Perserikatan Bangsa Bangsa menganggap rokok ilegal sebagai epidemi yang mendanai organisasi kriminal dan teroris internasional di seluruh dunia. Setiap tahun, lebih dari 400 miliar batang rokok dijual secara ilegal di seluruh dunia.

“Tidak ada komoditas lain yang mudah untuk diselundupkan. Cukup melintasi perbatasan dengan sedikit risiko demi keuntungan yang besar,” kata Lesnak.

Menurut Lesnak, pola pelanggaran hukum yang dilakukan organisasi penyelundup tembakau mengalami peningkatan di seluruh dunia. 

Pada Maret lalu, Kepolisian Kanada menggagalkan operasi penyelundupan rokok ilegal terbesar dalam sejarah Amerika Utara. Keuntungan dari hasil operasi penyelundupan itu rencananya akan digunakan untuk membeli kokain dan melakukan pencucian uang di Eropa.

“Baru-baru ini, pihak berwenang menyita tembakau dan senjata yang ditujukan untuk sejumlah kelompok teroris di Libia,” kata Lesnak.

Dihubungi secara terpisah, pengamat terorisme, Al Chaedar, berpendapat bahwa pemerintah Indonesia harus mengantisipasi penyelundupan rokok ilegal. Aksi tersebut, menurut dia, memiliki potensi bahaya laten.

"Karena kelompok teroris yang berani menjual barang-barang ilegal. Kalau pedagang biasa kan masih memperhitungkan efek legalitas. Mereka bisa jualan apa saja, ganja dan rokok ilegal," ucap dosen Universitas Malikussaleh, Aceh.

Menurut Al Chaedar, semakin derasnya penyelundupan rokok ilegal, pendapatan negara dari cukai rokok bakal semakin minim. 

“Penjualan rokok ilegal harus dipantau terus karena mereka tidak membayar cukai serta pajak, sementara uang hasil kejahatan tersebut untuk terorisme dan money laundering. Padahal, pendapatan dari cukai rokok cukup besar,” katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×