Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina memastikan kesiapannya untuk memproduksi bioavtur pasca pelaksanaan ujicoba bioavtur J2,4 pada pesawat CN235-220 FTB, Rabu (6/10).
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan, dalam persiapan produksi dan komersialisasi produk bioavtur maka perlu ada kebijakan pemerintah secara utuh dari sisi hulu ke hilir.
"Kalau bicara kesiapan, keberlangsungan tentu kita harus melihat value chain secara utuh karena ada bahan baku yang tidak dikontrol Pertamina yaitu minyak inti sawit (PKO)," kata Nicke dalam Konferensi Pers Virtual, Rabu (6/10).
Nicke melanjutkan, kebijakan ini diperlukan demi menjamin ketersediaan bahan baku agar program pengembangan bioavtur dapat dilakukan berkelanjutan.
Menurutnya, pengembangan bioavtur dari yang saat ini sebesar 2,4% akan meningkat bertahap menjadi 5% kemudian 10% dan seterusnya. Untuk itu, perlu ada komitmen untuk alokasi bahan baku.
Baca Juga: Pemerintah lakukan ujicoba bioavtur 2,4%, tempuh penerbangan Jakarta-Bandung
Sementara itu, mengenai rencana komersialisasi produk bioavtur, Nicke menjelaskan ada sejumlah aspek yang jadi perhatian dalam rencana komersialisasi. Secara khusus, dengan rencana pemerintah menerapkan pajak karbon pada 2022 mendatang, maka hal ini dipastikan jadi bagian yang turut dipertimbangkan oleh Pertamina.
Nicke melanjutkan, demi memastikan komitmen Pertamina dalam pengembangan bioavtur, pihaknya bakal menyiapkan kilang-kilang Pertamina untuk dapat memproduksi bioavtur. Adapun, kilang yang disiapkan pun dipastikan sesuai dengan regulasi dan standar internasional.
"Ada dua (kilang) yang siap itu di Kilang Dumai dan Kilang Cilacap. Ini dua yang komitmen kami," ungkap Nicke.
Sementara itu, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS) Eddy Abdurrachman mengungkapkan sampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang mewajibkan pemberian insentif untuk produk bioavtur.
Padahal, menurut Eddy produk bioavtur yang menggunakan PKO sebagai bahan baku pastinya harganya bakal lebih tinggi ketimbang crude palm oil (CPO).
"Sehingga itu bioavtur ini pasti akan lebih tinggi harganya," kata Eddy.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan, pengembangan bioavtur memang sedikit terlambat. Kendati demikian, sejumlah aspek pengembangan ke depannya dinilai tidak akan memakan waktu lama.
Salah satunya terkait kebijakan, dengan telah hadirnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan Dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain maka persoalan kebijakan dinilai tidak akan menemui kendala.
Untuk itu, aspek keteknisan dinilai telah melalui separuh jalan. "Kami akan selesaikan dulu kegiatan yang sifatnya teknis kemudian secara bertahap kami lakukan kajian dari sisi pengembangan proses termasuk kajian keekonomian," jelas dia.
Dadan mengungkapkan, aspek keekonomian bukan berarti memastikan produk bioavtur lebih murah harganya ketimbang avtur. Aspek keekonomian yang hendak dipastikan yakni selisih harga produk bioavtur dan avtur kemudian dampak yang mungkin timbul pada aspek lainnya.
Baca Juga: ESG risk rating Pertamina masuk ke risiko medium per September 2021
Dadan menambahkan, pemanfaatan bioavtur bertujuan untuk memberi dampak lebih pada aspek keberlanjutan lingkungan, mendorong pemanfaatan Energi Terbarukan serta meningkatkan industri sawit dalam negeri.
Dengan pengalaman yang sudah dimiliki pemerintah dan pihak terkait lainnya dalam pengembangan biodiesel sebelumnya, maka pengembangan bioavtur pun diprediksi bisa dilakukan dengan lebih cepat.
Dadan melanjutkan, pemerintah dan industri sawit siap mendorong kepastian pasokan bahan baku.
"Misalkan kalau 2,4% dikali 5 juta kiloliter (kl) avtur berarti angkanya 120 ribu kl (PKO) kita perlunya untuk setahun," terang Dadan.
Dadan menambahkan, pihaknya juga bakal mengkaji lebih lanjut untuk aspek keteknikan demi memastikan kesiapan aspek produksi dan harga produk nantinya.
"Kami punya pengalaman, menurut saya akan lebih cepat persiapannya dibanding dengan biodiesel dulu," pungkas Dadan.
Selanjutnya: Eyos bidik pasar digitalisasi ritel Indonesia melalui kemitraan startegis produk
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News