Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) tengah menggodog peraturan terkait implementasi mandatori bioavtur 3%.
"Saya sudah sounding ke mana-mana untuk bioavtur bisa segera masuk (Kepmen). Dengan begitu kita tidak hanya melihat satu persen, tapi kalau bioavtur kita sudah langsung misalnya tiga persen," ungkap Dirjen EBTKE, Eniya Listiani Dewi saat ditemui di kawasan Senayan Park, Jakarta, Jumat (16/05).
Jika ini terealisasi, menurut Eniya, Indonesia bisa menyalip capaian Singapura akan mulai menerapkan mandatori biovatur satu persen pada tahun 2026.
"Kalau Singapura mandatorinya satu persen di tahun 2026, kita bisa lebih lagi, tapi harus ada kesiapan," tambahnya.
Ia juga menjelaskan, target tiga persen adalah target maksimal karena menyesuaikan dengan kemampuan teknologi pencampuran yang dimiliki oleh kilang-kilang Pertamina.
Baca Juga: Kementerian ESDM Ungkap Peluang Kembalinya Chevron Garap WK Migas Indonesia
"Nah perhitungan kenapa tiga persen itu? Karena Pertamina KPI (Kilang Pertamina Internasional) itu punya kilangnya masih coprocessing. Jadi itu (bioavtur) hanya maksimal tiga persen," ungkap Eniya.
Namun, jika terdapat perusahaan baru lagi yang dapat melakukan pecampuran, maka target bioavtur bisa sampai lima persen.
"Pak Menteri (Bahlil) dorong, siapa satu lagi nih? Kalau ada satu dengan kapasitas 300.000 kiloliter misalnya, itu bisa langsung perhitungannya mungkin llima persen," jelas Eniya.
Peningkatan Persentase Bioavtur Berbanding Lurus dengan Kenaikan Harga Tiket
Meski memiliki target ambisius untuk bioavtur, peningkatan campuran bahan bakar nabati di dalamnya akan berpengaruh pada cost produksi yang akhirnya berpengaruh pada peningkatan harga tiket pesawat.
Eniya menjelaskan, jika mencontoh Singapura, biaya dari mandatori bioavtur seluruhnya dibebankan kepada konsumen penerbangan. Namun sisi lainnya, para penumpang dapat mengklaim kredit karbon karena telah menggunakan pesawat berbahan bakar bioavtur.
"Masalah tiket, kalau Singapura memandatorikannya (harga) tiket dilepas ke konsumen. Dan itu dipaksa semua penerbangan keluar (bandara) Changi, tetapi as a person, kamu bisa claim carbon kamu sendiri," jelasnya.
Sebagai tambahan, saat ini pengembangan bioavtur Indonesia telah mencapai tahap yang signifikan.
Pertamina telah berhasil memproduksi bioavtur di Kilang Cilacap, dengan porsi 2,4%, dan telah melakukan uji coba penerbangan menggunakan CN235.
Selain itu, sedang dibangun pabrik bioavtur di Banyuasin, Sumatera Selatan, yang akan memproses kelapa non-standar menjadi bioavtur.
Baca Juga: Kementerian ESDM Targetkan Mandatori Bioetanol 5% Berlaku Mulai Tahun 2026
Selanjutnya: Buka Cabang ke-9, Gadai ValueMax Andalkan Layanan Drive-Thru untuk Gaet Nasabah
Menarik Dibaca: Cuaca Besok di Wilayah DIY, Waspada Hujan Petir di Kota Jogja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News