Sumber: Kompas.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kewajiban hilirisasi tambang dan pelarangan ekspor mineral mentah (ore) yang diamanatkan dalam Undang-undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (minerba) mengancam bisnis bahan peledak (handak).
Direktur Utama BUMN handak, PT Dahana (Persero), Hary Sampoerno mengatakan, pelarangan ekspor ore membuat sejumlah perusahaan tambang berhenti beroperasi. Padahal sektor pertambangan adalah pasar utama Dahana.
"Pasar utama Dahana itu sektor pertambangan, tapi sekarang pertumbuhannya menurun, apalagi ada kewajiban membuat smelter," kata Hary, Jumat (14/3/2014).
Sepanjang tahun lalu pendapatan Dahana sebesar Rp 1 triliun, dengan laba bersih diprediksi mencapai Rp 60 miliar. Adapun portofolio bisnis Dahana yakni 60 persen di bisnis drilling dan blasting pertambangan, dan 40 persen lain-lain.
Pencapaian kinerja tahun lalu terbilang cukup signifikan dibanding 1998 di mana pada saat itu industri strategis mengalami kolaps. Hary memaparkan, sales tahun lalu mencapai 4 kali dibanding 1998, laba 10 kali lipat, dan aset tumbuh 8 kali lipat.
Hingga tahun lalu, aset Dahana mencapai Rp 1,2 triliun. Sementara itu, dengan prediksi menurunnya pertumbuhan sektor pertambangan, ia menjelaskan Dahana mulai akan merambah sektor lain.
"Kita fleksibel pindah di minyak dan gas. Kita juga mulai bangun konstruksi," katanya.
Beberapa proyek yang sudah dikerjakan Dahana selain pertambangan adalah PLTU Banten, Pacitan, Lamongan, serta Pontianak. Dahana bergerak mempersiapkan lahan PLTU. Selain itu Dahana juga menggarap terowongan untuk Jatigedhe, dan proyek listrik PT Lestari Banten Energi. "Kerjaan itu yang membuat kita lebih survive," kata Hary. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News