Reporter: Oginawa R Prayogo | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai, tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi 2,1 GHz atas PT Indosat Mega Media (IM2) menunjukkan bahwa, pihak penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak memahami konteks telekomunikasi.
Hal tersebut disampaikan Nonot Harsono, anggota BRTI dalam acara "Bedah Kasus IM2 dari Sisi Kelangsungan Industri Telekomunikasi" di Restoran Harum Manis, Apartemen Pavilion, Jakarta, Rabu (12/12).
Menurut Nonot, penyidik Kejagung salah tafsir akan istilah "menggunakan frekuensi" dan tidak paham konteks telekomunikasi tentang istilah "menggunakan bersama" pita frekuensi radio.
Makna "menggunakan frekuensi" itu artinya membangun pemancar penerima sendiri dan mengoperasikannya pada frekuensi tertentu. Sedangkan makna "menggunakan bersama" pita frekuensi radio artinya, ada dua atau lebih entitas yang masing-masing membangun jaringan sendiri dan dioperasikan menggunakan frekuensi yang sama persis.
Nonot bilang dalam kasus ini, IM2 tidak membangun jaringan sendiri, hanya menggunakan jaringan seluler milik Indosat. Menggunakan jaringan seluler Indosat ini tidak sama dengan menggunakan alokasi frekuensi Indosat.
"Jadi kewajiban bayar BHP (biaya hak pemakaian) frekuensi ada pada pihak pemilik jaringan seluler yaitu Indosat bukan IM2," ujar Nonot. Dia bilang kerja sama yang dilakukan Indosat dan IM2 legal dan tidak menyalahi aturan.
Menurut Nono pihak Kejagung mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI dan Mastel (Masyarakat Telekomunikasi) dan para ahli telekomunikasi yang telah menjelaskan, tidak ada yang ilegal dalam kerjasama penggunaan frekuensi oleh IM2 tersebut. "Bila tidak, industri telekomunikasi terancam kolaps," ujar Nono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News