Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Oleh sebab itu, pihaknya juga tengah melakukan koordinasi bersama Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk memfasilitasi peraturan yang mengakomodasi kewenangan dua kementerian ini.
"Supaya berlaku adil, jadi kalau ada yang melanggar sanksi berlaku untuk semua. Tapi smelter kan ada yang IUI. Jadi kita diskusikan dengan Kemenko Maritim untuk menjembatani ESDM dan Kemenperin," jelas Yunus.
Sanksi yang akan dijatuhkan, antara lain berupa peringatan hingga tidak terbitnya Laporan Hasil Verifikasi (LHV). LHV ini diterbitkan oleh surveyor sebagai syarat transaksi jual-beli.
"Sehingga kalau tidak ada LHV tidak bisa terjadi penjualan. Untuk yang melanggar, kita perintahkan surveyor tidak terbitkan LHV," tegas Yunus.
Baca Juga: ESDM proyeksikan penurunan produksi nikel tahun 2020, ini pemicunya
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyambut baik regulasi tersebut. Menurutnya, harga dan tata niaga nikel domestik memang perlu diatur.
Pasalnya, harga ore nikel di lapangan lebih rendah dari HPM, bahkan HPP. Meidy memberikan gambaran, HPP bijih nikel berkisar di angka US$ 20,34 per metrik ton. Namun, untuk harga ore nikel kadar rendah di bawah 1,7% harga domestik bisa sangat rendah, yakni sekitar US$ 18 per metrik ton.
Bahkan, untuk kadar 1,8% saja, ore nikel hanya dihargai sekitar US$ 20 per metrik ton. "Bagaimana penambang bisa hidup jika harganya di bawah HPP. Kami bayar kewajiban berdasarkan HPM, bahkan sejak Desember, royalti malah naik double," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengaku tak keberatan dengan pengaturan tersebut. Hanya saja, Prihadi mengatakan bahwa pihaknya masih membahas rumusan pengaturan harga yang diformulasikan oleh pemerintah.
"Angka yang dirumuskan kita bahas. Kita sepakat untuk mencari formula harga yang lebih adil," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News