Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah mempersiapkan aturan terkait harga dan tata niaga nikel domestik. Regulasi tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian dan keadilan agar tidak merugikan penambang maupun pengusaha smelter.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan, peraturan tersebut ingin memastikan penambang maupun pengusaha smelter bisa mendapatkan harga yang layak, tidak lebih rendah dari perhitungan keekonomian Harga Pokok Produksi (HPP) ore nikel maupun smelter.
Yunus menargetkan, aturan tersebut akan berbentuk Keputusan Menteri (Kepmen) dan bisa terbit paling lambat akhir Maret 2020 mendatang. Menurutnya, pengaturan ini mendesak diterbitkan guna memperbaiki tata niaga nikel domestik, khususnya untuk bijih (ore) nikel.
"Insya Allah (terbit Maret) bentuknya Kepmen. Ini kebutuhan yang harus segera diakomodasi sekaligus untuk membenahi tata kelola jual-beli nikel dalam negeri," kata Yunus dalam diskusi yang digelar Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Jum'at (28/2).
Baca Juga: Bidik investor, Menteri ESDM siapkan beleid pengelolaan NDR sektor energi dan mineral
Yunus belum membeberkan detail regulasi yang dimaksud. Hanya saja, dia memberikan gambaran bahwa Kepmen tersebut nantinya akan mengatur Harga Patokan Mineral (HPM) sebagai harga dasar untuk jual beli antara penambang dan smelter.
Dengan begitu, harga beli ore tidak akan terlampau jauh lebih rendah dari HPM sebagaimana yang dikeluhkan oleh para penambang saat ini. Sebagai ruang negosiasi, sambungnya, pemerintah juga akan menetapkan rentang batas harga yang berpatokan pada HPM.
Rentang tersebut sebagai toleransi jika harga jual beli berada di bawah HPM, yang ditetapkan dalam bentuk persentase. "HPM itu floor price, itu patokannya. Bisa di bawah itu, tapi nanti kami kasih buffer (rentang toleransi), misalkan 3% dari HPM. Jadi harga bisa di bawah, asalkan di rentang itu. Cuman untuk persentase buffer-nya berapa masih dikaji, belum diputuskan," terangnya.
Apabila harga melampaui kewajaran dari yang ditentukan, maka pemerintah akan memberikan sanksi. Tapi, terkait sanksi, Yunus memberikan catatan bahwa Kementerian ESDM tidak bisa berjalan sendiri.
Sebab, kewenangan terhadap penambang memang berada di wilayah Kementerian ESDM. Namun, tidak semua smelter menjadi kewenangan ESDM, lantaran ada smelter Izin Usaha Industri (IUI) yang berada di bawah Kementerian Perindustrian.
Oleh sebab itu, pihaknya juga tengah melakukan koordinasi bersama Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk memfasilitasi peraturan yang mengakomodasi kewenangan dua kementerian ini.
"Supaya berlaku adil, jadi kalau ada yang melanggar sanksi berlaku untuk semua. Tapi smelter kan ada yang IUI. Jadi kita diskusikan dengan Kemenko Maritim untuk menjembatani ESDM dan Kemenperin," jelas Yunus.
Sanksi yang akan dijatuhkan, antara lain berupa peringatan hingga tidak terbitnya Laporan Hasil Verifikasi (LHV). LHV ini diterbitkan oleh surveyor sebagai syarat transaksi jual-beli.
"Sehingga kalau tidak ada LHV tidak bisa terjadi penjualan. Untuk yang melanggar, kita perintahkan surveyor tidak terbitkan LHV," tegas Yunus.
Baca Juga: ESDM proyeksikan penurunan produksi nikel tahun 2020, ini pemicunya
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menyambut baik regulasi tersebut. Menurutnya, harga dan tata niaga nikel domestik memang perlu diatur.
Pasalnya, harga ore nikel di lapangan lebih rendah dari HPM, bahkan HPP. Meidy memberikan gambaran, HPP bijih nikel berkisar di angka US$ 20,34 per metrik ton. Namun, untuk harga ore nikel kadar rendah di bawah 1,7% harga domestik bisa sangat rendah, yakni sekitar US$ 18 per metrik ton.
Bahkan, untuk kadar 1,8% saja, ore nikel hanya dihargai sekitar US$ 20 per metrik ton. "Bagaimana penambang bisa hidup jika harganya di bawah HPP. Kami bayar kewajiban berdasarkan HPM, bahkan sejak Desember, royalti malah naik double," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Prihadi Santoso mengaku tak keberatan dengan pengaturan tersebut. Hanya saja, Prihadi mengatakan bahwa pihaknya masih membahas rumusan pengaturan harga yang diformulasikan oleh pemerintah.
"Angka yang dirumuskan kita bahas. Kita sepakat untuk mencari formula harga yang lebih adil," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News